Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei 7, 2007

Sesajen

“Apa itu, Pak?.” “Makanan.” “Buat apa?.” “Buat sesajen.” “Sesajen?.” “Iya, makanan ini akan Bapak persembahkan kepada sebuah pohon keramat yang mempunyai kekuatan ghaib.” “Pohon?.” ‘Iya, pohon itu terletak di pinggir hutan, pohon itu sangat besar, kelilingnya sekitar 50 langkah.” “Wah!, besar sekali, Pak!.” “Namanya saja pohon yang punya kekuatan ghib, jadi pantas saja kalau besar, biar lain dari yang lain, dan lagi agar pohon itu tidak mudah roboh kali ya?.” “Memangnya kalau roboh kenapa, Pak?.” “Mungkin kekuatannya akan musnah.” “Kalau begitu kan bukan sakti namanya, Pak?.” “Hus!, jangan bilang begitu, nanti bisa kualat kamu!. Oh ya, Ibumu mana?, suruh dia siapkan makan malam, Bapak mau mengantarkan makanan ini dulu ke pinggir hutan.” “Baik, Pak.” “Apa itu, Pak?.” “Makanan.” “Buat apa?.” “Buat sesajen.” “Seperti yang kemarin ya?.” “Iya, tapi yang sekarang agak beda.” “Apanya yang beda, Pak?.” “Macamnya, kalau kemarin cuma nasi jagung dengan tahu, sekarang nasi putih sama tempe.” “Bo

Perang Besar Ilmu Pengetahuan versus Gereja

 Judul Buku : Malaikat & Iblis (Angels & Demons) Penulis : Dan Brown Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta, Anggota IKAPI Cetakan : Kedua, 2005 Penerjemah : Isma B. Koesalamwardi Tebal : 653 halaman Leonardo Vetra, seorang ahli fisika, mencium bau daging terbakar. Dia tahu daging yang terbakar itu adalah dagingnya sendiri. dengan penuh ketakutan dia menatap sosok hitam yang membungkuk kepadanya. “Apa maumu?” “La chiave,” jawabnya dengan suara parau, “kata kuncinya” “Tetapi … aku tidak–” Penyusup itu menekankan benda itu lebih kuat sehingga benda panas itu masuk lebih dalam lagi ke dada Vetra. Terdengar bunyi mendesis yang keluar dari daging yang terpanggang. Vetra menjerit kesakitan. “Tidak ada kata kucinya!” Dia merasa dirinya sebentar lagi hampir pingsan. Mata orang itu melotot. “Ne avevo paura. Itu yang kutakutkan”

Bus

Aku duduk termanggu di tengah hiruk-pikuk terminal bus. Beberapa bus berseliweran datang dan pergi begitu saja. Para kenek teriak-teriak meneriakkan jurusan yang akan dituju oleh busnya. Namun setelah lama aku menunggu, bus yang aku tunggu-tunggu tak kunjung datang, yaitu bus yang menuju ke desaku, desa Damai yang permai, penuh kedamaian, pegunungan yang menjulang nan hijau, kicau indah burung-burung yang enak didengar melebihi musik pop yang kusuka, burung-burung itu berkicau setiap pagi tanpa lelah menambah indahnya suasana pagi yang cerah berawan. Ya, aku rindu sekali desaku itu, desa yang luas, permai, damai, dan indah. Aku rindu suasana desaku yang sejahtera, hidup bergotong royong tanpa pamrih, kekompakan dan persaudaraan yang sangat erat di desa yang membuatku tidak tahan menahan rindu. Tergambar jelas di benakku wajah-wajah sumringah para petani saat melihat hasil panen yang melimpah, atau wajah-wajah riang anak-anak desa yang bermain lumpur di tengah sawah. Setelah itu akan a

Mahsyar Ibu

Langit. Ah, tidak ada langit, awanpun tidak ada, yang ada hanya kosong. Kosong tanpa apa-apa, aku tidak bisa mengungkapkan apa yang aku lihat, sungguh di luar nalar. Aku berdiri bersama seluruh penduduk bumi dari zamannya nabi Adam sampai al-Mahdi, semua sama-sama telanjang. Tapi heran, kok tidak tidak ada rasa malu? Kok tidak ada yang bernafsu satu sama lain? Kok tidak seperti dulu yang hanya dengan telanjang dada sudah cukup membuat darah berdesir? Padahal semua orang telanjang tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka. Sungguh tidak masuk akal, bahkan untuk berfikir bagaimana ini semua bisa terjadi pun tidak sempat, karena semua orang sibuk dengan keadaan masing-masing. Semua tidak lagi memikirkan apa dan bagaimana. Semua katakutan, kepanasan, kehausan, dan tidak betah berada di tempat itu, yaitu tempat penyidangan umat manusia untuk mempertanggung jawabkan amal ibadahnya selama hidup di dunia. Terdengar suara petir menggelegar, menakutkan sekali. Tapi di atas sana tidak