Langsung ke konten utama

Sesajen

“Apa itu, Pak?.”
“Makanan.”
“Buat apa?.”
“Buat sesajen.”
“Sesajen?.”
“Iya, makanan ini akan Bapak persembahkan kepada sebuah pohon keramat yang mempunyai kekuatan ghaib.”
“Pohon?.”
‘Iya, pohon itu terletak di pinggir hutan, pohon itu sangat besar, kelilingnya sekitar 50 langkah.”
“Wah!, besar sekali, Pak!.”
“Namanya saja pohon yang punya kekuatan ghib, jadi pantas saja kalau besar, biar lain dari yang lain, dan lagi agar pohon itu tidak mudah roboh kali ya?.”
“Memangnya kalau roboh kenapa, Pak?.”
“Mungkin kekuatannya akan musnah.”
“Kalau begitu kan bukan sakti namanya, Pak?.”
“Hus!, jangan bilang begitu, nanti bisa kualat kamu!. Oh ya, Ibumu mana?, suruh dia siapkan makan malam, Bapak mau mengantarkan makanan ini dulu ke pinggir hutan.”
“Baik, Pak.”

“Apa itu, Pak?.”
“Makanan.”
“Buat apa?.”
“Buat sesajen.”
“Seperti yang kemarin ya?.”
“Iya, tapi yang sekarang agak beda.”
“Apanya yang beda, Pak?.”
“Macamnya, kalau kemarin cuma nasi jagung dengan tahu, sekarang nasi putih sama tempe.”
“Boleh saya yang makan tidak, Pak? Saya lapar sekali.”
“Jangan! Ini kan untuk pohon itu.”
“Enak dong pohon itu, tidak bekerja dapat makanan yang enak, sedang aku yang tiap hari kerja bantu Bapak tidak dapat apa-apa.”
“Eeeh! Jangan bicara sembarangan, nanti kamu bisa kualat.”
“Kok bisa begitu, Pak?.”
“Nasi ini kan untuk pohon itu, kalau kamu yang makan, bisa-bisa pohon itu murka dan akan menimpakan bencana pada kita sekeluarga.”
“Pohon juga bisa menimpakan bencana ya, Pak?.”
“Iya dong, namanya saja pohon keramat yang punya kekuatan ghaib yang sangat tinggi. Dengan kesaktiannya itu ia dapat melakukan apa saja yang ia mau kalau ia berkehendak.”
“Tapi selama ini kan kita tidak ketimpa musibah, Pak?.”
“Itu karena sejak kemarin Bapak mempersembahkan sesajen untuknya.”
“Tapi mengapa harus pohon itu yanag diberi sesajen, Pak? Kok tidak pohon yang lain saja?.”
“Memang banyak pohon lain yang besar, tapi yang paling besar adalah pohon itu dan hanya dia yang punya kekuatan ghaib. Kata orang yang memberitahukan Bapak tentang pohon itu seluruh pohon yang ada di hutan adalah anak buahnya.”
“Wah keren, seperti bajak laut saja ya, Pak? Pakai anak buah segala.”
“Ya maklum dong, kan sudah Bapak bilang tadi kalau pohon itu adalah pohon keramat yang punya kekuatan ghaib.”
“Wah hebat benar ya, Pak!.”
“Kamu mau ikut Bapak meletakkan sesajen ini ke pinggir hutan?.”
“Mau Pak.”

“Wah, sesajen kita yang kemarin diterima, Nak!.”
.”Masa sih, Pak?.”
“Coba lihat, kemarin Bapak letakkan makanan itu di dekat akar yang paling besar itu tuh, dan sekarang makanan itu sudah tidak ada, artinya sang pohon telah memakannya.”
“Tapi apa tidak ada kemungkinan makanan itu dicuri manusia, lalu dimakannya?.”
“Tidak mungkin, soalnya di sekitar sini tidak ada rumah walau satu pun, apalagi manusia, apalagi di dalam hutan sana yang sudah jelas tidak mungkin ada manusia, jadi siapa lagi yang memakannya kalau bukan pohon ini?.”
“Tapi, kata Pak guru, pohon itu makanannya mengambil dari dalam tanah yang berupa unsur hara, bukan nasi dan lauk-pauk Pak?.”
“Tapi yang ini lain lagi nak, ini pohon sakti yang bisa apa saja, termasuk makan makanan yang tidak biasa dimakan oleh tumbuhan, jadi maklum dong.”
“Lalu kalau sesajen itu diterimanya, apa yang akan terjadi, Pak?.”
“Ia akan memberkati kita, kita akan hidup senang dan tenteram.”
“……?.”
“Wahai pohon yang mulia, terima kasih engkau telah menerima sesajen yang saya persembahkan walaupun sangat sederhana. Kini terimalah sesajenku yang kedua, kali bukan lagi nasi jagung seperti kemarin, tapi nasi putih dengan lauk tempe. Pasti lebih enak. Saya mohon terimalah sesajenku ini wahai pohon yang sakti mandraguna.”

“Pak, sesajennya mau diletakkan di mana?.”
“Di sini saja.”
“Hari ini lain lagi ya, Pak?.”
“Betul, kali bukan tempe lagi tapi telor, dan nasinya lebih empuk dari yang kemarin, pasti lebih enak.”
“Kalau lebih enak memangnya kenapa Pak?.”
“Yang pasti pohon itu akan semakin senang, lalu dia akan memberkati kita dengan berkat yang lebih banyak.”
“Ooo, begitu ya? Tapi, ngomong-ngomong piringnya kok juga hilang Pak? Apa pohon itu juga makan piringnya ya? Kan kasihan kita, setiap hari harus kehilangan piring, lagian bagaimana caranya ia menelan piring yang begitu besar itu ya?.”
“Sudah, sudah! Kamu jangan mikirin macam-macam. Yang penting dia telah merima sesajen yang Bapak berikan, dengan begitu ia akan memberkati kita dengan baik. Eh, sudah gelap, ayo kita pulang.”
“Pak, kenapa Bapak mengantar sesajennya ketika waktu matahari hampir tenggelam? Kok bukan pagi saja, hitung-hitung kita olahraga, seperti yang di TV-TV itu lo, Pak.”
“Yang bener saja, pohon keramat itu waktu tidurnya tidak sama dengan manusia, ia tidur pada waktu siang, jadi nganternya harus ketika matahari hampir tenggelam dong, yaitu ketika ia baru bangun dari tidurnya, lalu ia memakannya pada waktu tengah malam.”
“Ooo, begitu ya?.”

“Sejak sebulan ini, Ibu lihat Bapak bawa makanan setiap hari ke pinggir hutan, ngomong-ngomong ada apa Pak?.”
“Bu, Bapak membawa sesajen itu untuk dipersembahkan pada sebatang pohon besar yang punya kekuatan ghaib yang ada di pinggir hutan sana.”
“Untuk apa, Pak?.”
“Untuk keselamatan, kesejahteraan dan kelancaran rejeki kita, Bu. Coba Ibu lihat, sejak sebulan yang lalu kita makin sejatera kan, Bu, rejeki kita makin lancar. Buktinya Ibu sudah Bapak belikan baju baru yang warna hijau itu. Tidak seperti dahulu sebelum Bapak mempersembahkan sesajen untuk pohon itu, kita hidup melarat. Selalu saja susah, mau dapat uang serIbu lima ratus saja harus banting tulang, sulitnya bukan main, iya kan, Bu?. Itu telah membuktikan kepada kita bahwa dengan mempersembahkan sesajen kepada pohon itu kehidupan kita makin makmur, artinya sejajen yang selama ini Bapak keluarkan tidak sia-sia.”
“Memangnya ada pohon seperti itu ya, Pak?.”
“Ya jelas ada dong. Pohon itu bukan pohon biasa, ia punya kesaktian yang luar biasa. Terbukti dari keadaan kita selama ini yang tenang dan damai, yaitu sejak Bapak mempersembahkan sesajen untuk pohon yang sakti itu.”

“Selama ini, Ibu selalu pulang bawa sepiring nasi, dapat dari mana sih, Bu?.”
“Sudahlah, makan dulu nanti Ibu ceritakan sambil kamu makan.”
“Dan lagi, lauknya semakin hari makin enak lo, Bu.”
“Ia, sepatutnya kalau kita bersyukur kepada Tuhan yang maha kuasa, yang telah memberikan rejeki kepada hambanya tanpa disangka-sangka.”
“Lalu Ibu dapat makan ini dari mana?.”
“Ceritanya begini. Saat itu Ibu pergi mencari makanan di pinggiran hutan, waktu itu sudah gelap, ketika itu Ibu berjumpa dengan pohon besar yanh yang ada makanan di salah satu cabang akarnya. Ibu bertanya-tanya, milik siapa makanan itu?, Ibu pun menuggu sampai pemiliknya datang, mungkin makanan itu milik petani yang akan berjaga malam di sawah mereka, namun ternyata sampai tengah malam, orang yang Ibu tunggu tidak datang-datang. Akhirnya dari pada mubazir, makanan itu Ibu bawa ke sini. Keesokan harinya Ibu pergi ke sana lagi untuk minta maaf pada pemiliknya, namun sampai tengah hari Ibu tak menemui seorang pun, dan seperti itu setiap harinya.”
“Tidak nyangka ya, Bu, kita yang miskin bisa makan sebanyak ini, enak lagi.”
“Maka dari itu kita harus bersyukur. Sebenarnya Ibu tidak ingin mengambil makanan orang itu tanpa sepengetahuan yang punya, tapi seakan-akan ada dorongan yang kuat supaya Ibu mengambil makanan itu, Ibu tidak kuasa menahannya. Ibu merasa sangat berdosa karena telah mengambil makan itu tanpa sepengetahuan pemiliknya, apalagi Ibu tidak akan mampu untuk menggantinya, yang Ibu bisa lakukan hanyalah berdoa agar orang yang memiliki makanan itu diberi keselamatan dan kesejahteraan dalam hidupnya.”
“Ibu benar, walaupun kita bangsa monyet yang tidak punya akal sesempurna manusia kita juga harus bersyukur dan saling mendoakan sesama makhluk Tuhan. Iya kan, Bu?.”
“Wah, anak Ibu pintar sekali.”
“Kan dulu Ibu yang bilang begitu.”
Hahahaha…….

Guluk-guluk, 22 Nopember 2006