Langsung ke konten utama

Bus

Aku duduk termanggu di tengah hiruk-pikuk terminal bus. Beberapa bus berseliweran datang dan pergi begitu saja. Para kenek teriak-teriak meneriakkan jurusan yang akan dituju oleh busnya. Namun setelah lama aku menunggu, bus yang aku tunggu-tunggu tak kunjung datang, yaitu bus yang menuju ke desaku, desa Damai yang permai, penuh kedamaian, pegunungan yang menjulang nan hijau, kicau indah burung-burung yang enak didengar melebihi musik pop yang kusuka, burung-burung itu berkicau setiap pagi tanpa lelah menambah indahnya suasana pagi yang cerah berawan. Ya, aku rindu sekali desaku itu, desa yang luas, permai, damai, dan indah. Aku rindu suasana desaku yang sejahtera, hidup bergotong royong tanpa pamrih, kekompakan dan persaudaraan yang sangat erat di desa yang membuatku tidak tahan menahan rindu.
Tergambar jelas di benakku wajah-wajah sumringah para petani saat melihat hasil panen yang melimpah, atau wajah-wajah riang anak-anak desa yang bermain lumpur di tengah sawah. Setelah itu akan ada hajatan atau syukuran atas keberhasilan panen tahun ini.
Lamunanku buyar ketika seorang laki-laki memegang bahuku
“Mau kemana, Mas?” tanyanya dengan senyum terulas, tampak keringatnya bercucuran membasahi bajunya.
“Pulang ke desa” jawabku singkat
“Desa Damai ya?” tanyanya lagi
“Kok tahu?” aku balik tanya
“Semua orang juga mau ke sana kok,” jawanya santai, “kalau memang ke sana tujuan kamu, kebetulan bus kami memang jurusan sana” jawabnya yang secara tidak langsung mengajakku untuk naik busnya. Ternyata dia seorang kenek.
Tanpa sempat aku berfikir, ia memegang tanganku dan membawaku ke tampat busnya di parkir. Aku pun mau tak mau harus naik bus itu. Kulihat di dalam bus itu sudah banyak penumpang lain yang menuju desa damai juga. Akubisa menyimpulkan seperti itu karena memang bus ini jurusan ke sana. Jadi tidak mungkin mereka menuju ke jurusan lain.
Beberapa lama kemudian bus berangkat dengan perlahan dan sedikit demi sedikit si sopir menambah kecepatan busnya hingga bus itu melaju dalam kecapatan yang tidak bisa kuperkirakan, tapi yang jelas lebih dari 100m/km. pada awalnya tidak terjadi apa-apa, semua penumpang tenang, namun sejak tikungan yang tadi aku merasa ada yang aneh, sebab jalan yang dilalui oleh bus yang kutumpangi bukan jalan yang menuju desa Damai, desa yang kami tuju. Tapi aku diam saja tidak berani untuk protes. Beberapa penumpang lain juga diam tapi mereka tampaknya duduk dengan gelisah. Aku kira mungkin mereka adalah orang-orang yang tahu jalan yang menuju ke desa Damai, tapi tidak berani untuk protes, seperti aku. Tak berapa lama kemudian seorang penumpang berdiri dan ptotes, rupanya ia sudah kehilangan kesabarannya.
“Hei, Pir. Ini kan bukan jalan yang menuju ke desa Damai?” katanya lantang kepada sopir yang lagi asyik ngobrol dengan sang kenek.
“Tenang, Pak” sang kenek memutar badan menghadap pemerotes, “kami sengaja lewat jalur memutar. Karena kalau lewat jalan pintas, resikonya terlalu tinggi, bannyak tikungan tajamnya, penuh tebing, tanjakannya cumar-curam” lanjut kenek yang kemudian kembali berbincang-bincang dengan sang sopir seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Mendengar alasan si kenek, para penumpang akhirnya diam, mereka tenang kembali dengan harapan tidak ada hambatan yang menghalang di jalan, biar lambat asal selamat begitu kira-kira pepatah berkata.
Tapi kenyatannya, bus itu bukan semakin mendekati desa Damai yang dituju, bus itu melaju ke arah yang berlawanan dengan yang menuju desa Damai yaitu ke utara. Para penumpang pun gempar kembali. Salah seorang dari mereka akhirnya berdiri dan protes
“Hei, Pir! Jalan ini kan berlawanan arah dengan jalan yang menuju desa Damai?” katanya dengan nada suara agak tinggi.
“Tenang!, kami Cuma mau ngisi bensi sebentar di selatan sana. Soalnya bernsin hampir habis. Padahal perjalanan masih panjang. Dan kalau harus ngisi bensin di utara sana, masih harus nempuh ratusan kilo, sedangakan di selatan lebih dekat” jawab sopir itu
Semua penumpang kembali tenang walaupun ada di antara mereka yang masih kurang puas dengan jawaban si sopir tadi, tapi mereka lebih memilih diam agar tidak mengganggu konsentrasi si sopir yang akan berakibat fatal bagi seluruh penumpang. Namung sesampainya di POM bensin, bus itu bukannya berhenti tapi masih terus melaju ke selatan. Tentu saja semua penumpang terlonjak. Karena tak kuat menahan emosi, seorang pemuda yang berumur 20 tahunan berdiri dan membentak si kenek sambil memegang kerah bajunya.
“Hei, kenek sial! Katanya mau ngisi bensin, tapi nyatanya mengapa masih melaju ke selatan? Bukankah tadi ada POM di pinggir jalan. Kamu jangan permainan kami ya?! Kami bisa menuntut kalian ke pengadilan” ancamnya dengan muka merah penuh dengan kemarahan. Si kenek pucat pasi, tapi si sopir segera menjawab untuk membela partner kerjanya itu
“Tenang, Mas! Jangan marah dulu. Kami memang mau ngisi bensin, tapi bukan di POM yang tadi. Di sana bensinnya jelek, makanya kami mau ngisi bensin di POM depan sana” kata sopir itu dengan tenang, “nah itu dia POM-nya” lanjutnya ketika di depan sana terlihat POM, dan bus yang kami tumpangi berhenti yang membuat pemuda tadi turun emosinya.

***

Saat mengisi bus bensin, tanpa kusengaja aku melihat deretan angka-angka di sebuah mesin yang berada di pinggir bus. Angka-angka itu sangat banyak, ada yang berwarna merah, ada yang berwarna hijau ada juga yang berwarna kuning. Tapi aku sama sekali tidak paham apa maksud dari angka-angka itu, angka-angka itu berubah demikian cepat. Karena tak kuat menahan rasa ingin tahu, akhirnya aku beranikan dir untuk bertanya kepada lelaki yang duduk se kursi dengannku, lelaki itu memakai jas berwarna dongker dengan celana hitam. Sejenak kuperhatikan dia membawa sebuah tas hitam, dari itu aku tahu kalau dia adalah orang terpelajar, atau mungkin dia adalah seorang manajer sebuah perusahaan besar. Kugamit siku orang itu.
“Ada apa?” tanyanya
“Itu angka apa sih, OM?” tanyaku agak malu-malu dengan suara agal pelan karena aku takut ketahuan yang lain kalau aku termasuk orang kolot.
“Yang mana?” tanyanya sambil melengak-lengok
“Yang itu tuh, OM. Yang berwarna merah, kuning dan hijau itu” jawabku sambil menunjuk angaka-angka yang bermunculan di mesin pompa bensin
Lelaki itu bukannya menjawab, tapi malah terkejut bukan main seperti orang yang melihat kucing terbang. Dan lelaki itu langsung beranjak dari tempat duduknya maju ke depan dan tiba-tiba membentak si sopir.
“Hei, Sopir sialan! Kamu benar-benar mau mempermainkan kami ya?!” katanya sambil memegang kerah baju si sopir
“Apa maksud anda, Pak?” si sopir tampak gemetar, peluh dingin langusng megalir membasahi sekujur tubuhnya.
“”Masih nanya lagi! Kamu pikir aku bodoh?! Masa bus sebesar ini dengan rute yang jauh cuma diisi dengan sepuluh ribu tupiah? Kamu pikir uang sepuluh ribu dapat bensin berapa liter hah?!” lelaki itu makin kencang memegang kerah baju si sopir
“Sudahlah, Pak. Tenang dulu, kita bicarakan baik-baik” tiba tiba si kenek tampil menengahi
“Benar, Pak. Benar” si sopir mendukung pendapat si kenek dengan suara terengap-engap setelah kerah bajunya dilepaskan oleh lelaki tadi
“Begini, Pak” kata si kenek, “sebenarnya selain karena bensinnya lebih bagus, yang membuat kamu memilih untuk mengisi bensin di sini karena harganya sangat murah. Kalau di POM yang lain menjual bensin dengan harga 5000 rupiah per piter, di sini Cuma 500 rupiah perliter, jadi kami tidak usak mengeluarkan uang yang banyak untuk mengisi bensin kalau ngisi di sini, sepuluh ribu sudah cukup”
“Aaaaah, mana mungkin?” kata lelaki itu tidak percaya
“Kalau tidak percaya, tanyakan saja sendiri ke penjaga POM itu” balas kenek itu dengan nada agak kesal. Lelaki itu akhirnya kembali duduk ke kursinya di sampingku, mukanya masih kelihatan merah
“Om. Om belum jawab pertanyaan saya, Om” tegurku pelan
“Pikir saja sendiri” hardiknya lalu membuang muka. Aku hanya diam terus tanpa berkata apa-apa sampai kerika bus sampai pada jalan menurun yang berbentuk terowongan yang gelap. Bus yang kami tumpangi menelusurinya, semakin ke dalam semakin gelap. Semua penumpang protes, terutama orang-orang yang tahu jalan yang menuju desa Damai. Terdengar keributan luar biasa di dalam bus itu, sampai akhirnya bus itu oleng dan jatuh ke dalam jurang yang sangat gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Kurogoh tas kusam yang kubawa dan ku ambil dari dalamnya sebuah senter kecil. Senter itu lalu kunyalakan untuk menyinari sekelilingku yang mash gelap. Dengan sinar redupnya kulihat puing-puing bus yang jatuh bersama tubuhku, kulihat juga tetesan darah yang mengalir dari tubuhku. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih kumiliki, aku mencoba merangkak setapak demi setapak menelusuri lorong jurang yang gelap untuk keluar dari jurang itu dan mencari terminal bus yang lain agar aku menemukan bus lain yang menuju ke desaku, desa Damai.

Guluk-guluk, 07 Maret 2007