Langsung ke konten utama

The Real Ghost Rider

"Di, bangun, Di" saya membangunkan Suryadi yang sedang terlelap. Jam menunjukkan pukul 02.15 pm. Masjid masih ramai oleh (suara ngorok) para singgaher. Posisi mereka rata-rata sama, tidur berbantalkan tas ransel dengan tubuh terlentang, sangat kentara raut kelelahan di wajah mereka. Saya yakin, masjid adalah tempat paling nyaman untuk istirahat di tengah perjalanan, tetapi nyaman belum tentu aman. Jika sandal jepit saja bisa hilang, apalagi hp dan jam tangan. Maka, cara terbaik untuk hilang kesadaran di masjid adalah menaruh barang bawaan di tempat yang aman. Jika tidak ada tempat penitipan, pilihan lainnya adalah di bawah kepala. Itung-itung juga membuat tidur lebih nyaman bagi mereka yang terbiasa menggunakan bantal.

Suryadi bangun dengan mata merah, mirip mata Itachi Uchiha saat mengaktifkan Sharingannya, meskipun tentu saja temen saya ini tidak se-cool Itachi lah. "Bang, ayo berangkat lagi. Target kita Maghrib sudah harus di Semarang, kita buka puasa di sana nanti", kataku. Kesadarannya mulai terkumpul, agak pelan. Beberapa detik kemudian, setelah sukmanya lengkap kembali ke badan, dia pun berkata "Ayo". Sebelum melanjutkan perjalanan kami ke tempat wudhu terlebih dahulu, cuci muka, tangan dan kaki agar tubuh kembali segar.

"Saya di depan" katanya sigap sambil naik motor yang mesinnya belum dipanaskan lagi. Padahal mulut saya waktu itu sudah menganga siap mengeluarkan kata "Aku saja yang nyetir", tapi tidak jadi malah berubah menjadi "Ya udah deh". Mesin pun dinyalakan dan kami siap go to Semarang.

Dari Pemalang ke Semarang lalu lintas lebih ramai. Melewati Pekalongan, Batang, Alas Roban dan Kendal, beberapa bagian jalan ada yang bergelombang parah sehingga kecepatan motor mentok di angka 60, itu pun rasanya pinggang sudah dipaksa berjuang dengan semangat 69 (jangan tanya ada momen penting apa di tahun 69, yang pasti bukan proklamasi kemerdekaan). Untungnya jalanan yang rusak tidak terlalu banyak, hanya di daerah Alas Roban dan saat mendekati Kota Semarang saja. Tapi, itu saja sudah cukup membuat pinggang menderita. Suspensi motor serasa tidak berguna sama sekali. Motor melompat-lompat atraktif, menghajar lubang, menghantam gundukan, sungguh melelahkan sekaligus menjengkelkan.

Sesi kali ini memang terasa lebih berat. Terlebih gaya membawa motor sang pengemudi yang ala Setan Pengendara (Marvelian menyebutnya Ghost Rider), manusia yang secara kebetulan ditakdirkan menjadi pengendara dengan api menyala-nyala di tubuhnya. Motor meliuk-liuk di antara kendaraan-kendaraan yang lebih besar, nyelip di sela-sela mobil dan truk, kadang ngerem mendadak, kadang narik gas tiba-tiba, kadang bermanuver tajam menghindari lubang jalanan, meski ujung-ujungnya menghantam gundukan aspal juga. Hebatnya, semua itu dia lakukan tanpa suara klakson dan tanpa menyalakan lampu sein, benar-benar bisu, senyap seperti hantu. Posisi spion juga menunduk seakan ruku kepada Tuhan, entah berfungsi atau tidak. Komponen-komponen ini sama sekali tidak berguna di tangannya, nganggur saja begitu. Berbeda sekali dengan tuas rem dan gas yang kerja keras naik turun di bawah kontrol sang pengemudi.

"Bang, gunakan leting dan klaksonnya dong!" kataku memperingatkan. "Wah, nggak tahu ya. Saya nggak terbiasa pake klakson" jawabnya enteng. Keren! Sumpah keren banget dia masih hidup hingga sekarang. Saya curiga dia beneran telah melakukan kontrak dengan Iblis sehingga memiliki kekuatan Spirit of Vengeance seperti Johnny Blaze dan Robby Reyes, lalu menjadi Ghost Rider yang anti baret. Masalahnya adalah saya manusia biasa yang masih sayang nyawa. Saya tidak takut mati, tapi bukan dengan cara begini.

Akhirnya Semarang sudah di depan mata. Lalu lintas semakin padat merayap. Sebentar lagi waktu Maghrib tiba. Terus terang ini baru pertama kali saya ke Kota Semarang. Maksud hati mau ke pusat kota dan buka puasa di sana, di salah satu rumah makan yang kami pilih sepenuh hati. Tapi siapa sangka kami malah nyasar ke jalur yang mengarah ke pelabuhan Tanjung Emas di pesisir utara. Bayangan resto mewah berjejer di sepanjang jalan pusat kota tinggallah angan belaka. Yang kami dapatkan adalah deretan peti kemas dan truk tronton dengan muatan berat melaju dengan kecepatan kura-kura darat. Sial!

Bahkan saat adzan Maghrib sudah berkumandang, kami masih menyisir sisi kiri jalan raya mencari warung, toko, atau mini market yang buka untuk membeli makanan atau minuman. Jika tidak ada, penjual gorengan juga tidak apa-apa, yang penting kami bisa batalin puasa, itu saja.

Alhamdulillah, setelah berusaha dengan konsentrasi penuh, akhirnya makhluk yang kami cari-cari kami temukan, sebuah Alfamart kecil dengan halaman yang temaram (tidak seperti Alfamart pada umumnya yang terang benderang) berdiri di sisi kiri jalan. Suryadi masuk dan membeli 2 botol air mineral dingin untuk buka puasa, sementara saya menunggu di luar sambil jagain motor. Nyesss... Nikmat sekali saat air dingin melewati tenggorokan yang sedari tadi minta diirigasi. Beribu syukur saya panjatkan, ternyata bahagia itu sederhana sekali. Buatlah dirimu semenderita mungkin sehingga kamu merasa seperti di neraka, lalu nikmatilah sedikit kenyamanan yang bahkan bagi orang lain biasa saja, niscaya kamu akan merasakan seperti baru saja masuk surga. Tidak percaya? Buktikan saja!

Bersambung lagi...