Langsung ke konten utama

Ketika si Jakcy Hoki Pegang Kemudi

Hari ini bisa jadi merupakan hari paling bersejarah bagi saya. Setelah direncanakan dari beberapa hari yang lalu, saya putuskan tahun ini mudik menggunakan motor. Apa hebatnya sih mudik menggunakan motor? Memang tidak ada yang istimewa, kecuali jika jaraknya adalah antara Bekasi dan Sumenep. Menurut Google Map jarak Bekasi-Sumenep (jika tidak melalui jalan tol) adalah 920 km. Jarak segitu saya rasa sudah cukup menjadikan perjalanan ini istimewa. Ini motor loh, bukan kereta bukan pesawat.

Persiapan sudah selesai, packing baju, charge kamera sampe penuh, dan makan sahur sudah saya lakukan. Dan, oh ya, dalam perjalanan ini saya ditemani oleh teman saya, Suryadi. Dia adalah teman sejak masih di pesantren dulu, kebetulan sama-sama bekerja di Bekasi. Dia adalah tipe orang yang tidak pikir panjang, grasa-grusu, dan keras kepala. Dia suka mengerjakan sesuatu tanpa persiapan. Ketika sadar ada yang tidak beres dalam kerjaanya, baru dia mikir. Namun sejauh ini dia selalu hoki, dia selalu berhasil menyelesaikan pekerjaanya dengan baik. Kira-kira, menurut saya dia ini mirip Jacky Chan, tidak pernah pikir panjang, selalu tanpa persiapan, kemampuan pas-pasan tapi hokinya luar biasa. Untuk itu dia yang saya  ajak jadi teman perjalanan mudik menggunakan motor. Saya ngajaknya juga pas dekat-dekat hari keberangkatan, biar dia tidak punya waktu banyak untuk berpikir menolaknya. Haha

Pagi ini saya dan Suryadi makan sahur dengan menu favorit ala warung tegal: telur, orek, dan perkedel. Kami sudah bertekad bulat, sebulat telur yang kami santap, perjalanan jauh bukan halangan untuk tetap berpuasa. Yeaah!

Jam menunjukkan pukul 05.00 am, kami sudah shalat shubuh dan bersiap untuk berangkat. Tas ransel saya cek lagi memastikan tidak ada barang yang tertinggal, sembari itu mesin sepeda motor saya panaskan. Vario tipe baru dengan mesin bersilinder 125 cc akan menemani perjalanan kami ke Madura. Motor ini sudah saya persiapkan untuk perjalanan jauh sejak 3 hari sebelumnya. Ban ganti yang baru, oli baru, service sudah, vanbelt masih kenceng, rem pakem, kelistrikan fungsi semua dan tak lupa charger hp saya pasang di bawah jok untuk mengantisipasi kami kehabisan baterai di tengah perjalanan.

Singkat cerita, jam 05.30 kami sudah di Bulak Kapal. Matahari belum menampakkan batang hidungnya, saya juga belum tahu bentuk hidung matahari seperti apa. Udara masih sejuk dan lalu lintas masih lengang. Kami bebas menggeber motor hingga kecepatan 90 km/h. Kecepatan segitu untuk jalanan kota cukup fantastis lo. Jalanan yang biasanya macet itu kali ini sepi, enak sekali. Tak berselang lama kemudian kami sudah sampai di Cikarang, berhenti di sebuah toko aksesoris membeli kacamata untuk Suryadi. Orang ini memang agak gila, menggunakan helm tanpa kaca pelindung untuk perjalanan puluhan jam melintasi jalur sesibuk jalan Pantura. Entah apakah karena tidak ada helm lain yang dia punya atau memang ada yang tidak beres dengan otaknya.

"Pakai goggle aja, Di!" saranku tanpa turun dari motor. Goggle lebih baik dibanding kacamata untuk melindungi mata dari terpaan angin dan debu jalanan. Tetapi rupanya fakta berkata lain, yang dia dapatkan bukan goggle, hanya kacamata biasa. Ukurannya memang cukup lebar, tapi tetap belum cukup efektif untuk melindungi mata.

Setelah Suryadi kembali duduk di jok belakang motor dan sudah memakai kacamatanya, tuas gas saya tarik, mesin motor menderu dengan kecepatan rata-rata 80 km/h antara Cikarang dan Cikampek. Jalanan yang cukup halus membuat laju motor stabil, tidak zigzag atau lompat-lompat. Hingga setibanya di Pemanukan motor terasa agak oleng. Jalannya tidak stabil, saya merasa helm yang Suryadi pakai terantuk-antuk dengan helm saya. Kami pun menepi ke sisi kiri jalan. Ternyata sifat manusiawi Suryadi keluar, mata kemerahan, kelihatan seperti bohlam kekurangan daya. Dia ngantuk, tapi diam saja.

Akhirnya saya putuskan agar Suryadi yang pegang kemudi biar tidak ngantuk. Cara ini rupanya berhasil, dia tidak ngantuk lagi. Dia bertahan memegang kemudi cukup lama. Indramayu dan Cirebon sudah terlewati. Sebentar lagi Brebes menyambut, dia masih kuat saja. Barulah saat Brexit sudah lewat kantuk menyerangnya lagi. Kami nyaris nabrak mobil Avanza. Untungnya dia cukup sigap menarik menarik tuas rem, sebab jika tidak, motor kami sudah pasti berciuman dengan bokong Avanza berwarna silver di depan kami.

"Kalo ngantuk istirahat aja dulu, bro!" saranku. "Tidak usah, kita lanjut aja" jawabnya tegas. Saya akui dia memang keras kepala, entah sudah berapa kali jantung saya dibuat berdebar karena nyaris nyerempet kendaraan lain, tapi dia tetap saja dengan santainya bilang "lanjut". Yah, ini memang cukup dilematis, soalnya percuma juga saya gantikan dia nyetir motor, jika dia dalam kondisi mengantuk, mau di posisi nyetir atau bonceng sama saja bikin motor larinya oleng.

Akhirnya, dia pun mau saya ajak istirahat saat sampai di Tegal. Di sebuah masjid pinggir jalan bernama Baitur Rahim kami berhenti untuk istirahat. Kami sebentar saja di sini, sekedar cuci muka, meluruskan pinggang dan shalat Zhuhur dan Ashar jama taqdim. Habis itu kami lanjutkan perjalanan lagi.

"Gimana, bang? Mau saya ganti nyetir?" tanya saya. "Tidak usah" jawabnya spontan. Tuh kan, dia memangg keras kepala kan. Dengan perasaan harap-harap cemas saya manut saja apa maunya. Saya hanya bisa berdoa dan tawakkal kepada Yang Kuasa, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.

Kecemasan saya rupanya terbukti. Belum sampai 30 menitan motor mulai terasa ugal-ugalan. Saya nyeracau tidak jelas di belakang, sedikit-sedikit teriak, sedikit-sedikit marah. Bagaimana tidak jika nyawa saya taruhannya. Saya tidak pernah berencana mati muda, apalagi belum tahu rasanya kumpul dengan wanita, ah kenapa pula pikiranku ke sana?

Dengan emosi yang ditahan-tahan saya paksa Suryadi untuk menepi. "Kita istirahat! Sudah, kamu diam saja, tidak usah protes lagi!" belum sempat dia menjawab, kupukul pundaknya keras-keras agar dia menepi. Kami pun memasuki lahan parkir sebuah masjid yang terletak antara Pemalang dan Pekalongan. Masjid Baitul Muttaqien namanya.

Masjid ini cukup besar, lahan parkirnya lumayan luas dan aman karena menggunakan satu pintu. Karpet full dari shaf pertama sampai terakhir bagian dalam masjid, bahkan di emperan juga dipasangi karpet, meski tidak seempuk di dalam. Terlihat beberapa orang sedang rebahan di emperan masjid. Mereka kondisinya sama seperti kami, musafir yang kelelahan dan memutuskan untuk istirahat di rumah Allah, rumah paling nyaman di seantero jagad raya. Kami sempat terlelap di masjid ini sekitar 1 jam, antara jam 01.00 - 02.00 pm.

Bersambung...