Langsung ke konten utama

Menulis Itu Masalah Cita Rasa

Saya mulai suka menulis sejak tahun 2004. Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 MTs (setingkat dengan SMP). Lewat sebuah komunitas kecil RoDoSurU, saya mulai menempa diri menulis sesuatu yang saya suka. RoDoSurU sendiri sebenarnya bukanlah komunitas yang resmi, ia hanya sebatas kelompok menulis yang muncul dari gagasan empat sekawan yang punya hobi menulis dan kebetulan tinggal di tempat yang sama, Darul Lughah. Mereka adalah Rosyidi, Dono, Suryadi dan saya sendiri. Nama RoDoSurU pun tak lain adalah singkatan dari nama mereka.

Waktu itu saya suka menulis cerpen. Saya menulis hanya sekedar untuk menyalurkan hobi dan memuaskan keinginan untuk menulis. Saya mulai belajar mengekpresikan inspirasi yang saya dapat lewat tulisan. Sama sekali tidak ada bayangan untuk mempublikasikan apa yang telah saya tulis. Sebab itulah kemudian muncul istilah “penulis sampah” di antara saya dan teman-teman, karena apa yang kami tulis waktu itu akhir-akhirnya tidak jelas hilang kemana. Tidak jarang malah dijadikan bungkus gorengan dan dibuang ke tempat sampah dan diambil pemulung untuk didaur ulang. Kami sangat buruk dalam urusan dokumentasi –dan hal ini sangat saya sesalkan sekarang.

Waktu berlalu begitu cepat. Bekal hobi dan kebiasaan menulis membantu saya dalam menyelesaikan tugas paper kelas 3 MTs. Hal itu jugalah yang membuat paper saya menjadi karya terbaik dari ratusan paper lainnya karangan teman seangkatan saya. Tidak hanya itu, karena dalam komunitas yang kami bangun itu ada kebiasaan berimajinasi sesuka hati, seringkali kami menemukan inspirasi-inspirasi konyol yang tidak masuk akal, tapi cukup memaksa orang tersenyum. Berkat itulah saya sempat mendapatkan honor dari DetEksi Jawa Pos gara-gara tulisan saya terpilih menjadi tiga terbaik di rubrik Interaktif. Seratus Ribu Rupiah, jumlah yang cukup banyak waktu itu, tiga kali lipat dibanding jumlah uang kiriman ortu setiap dua minggu.

Menginjak kelas 1 MAT (setingkat SMA), saya mulai mengenal lebih banyak teman yang berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Sumardono, Edu Badrus Shaleh, Abdurrohim, A’yat Khalili, Ahmad Fawaid, Ahmad Matin, Moh. Takdir Ilahi dan banyak lagi teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Mereka berlomba-lomba mempublikasikan karya mereka ke media dan mengikuti momen-momen lomba kepenulisan dengan honor dan hadiah yang cukup membuat air liur mengucur. Dan alhamdulillah di antara mereka ada yang sukses hingga taraf nasional. Sebuah pencapaian yang sangat bergengsi waktu itu, bisa dipublikasikan media nasional atau memenangi kompetisi kepenulisan nasional. Dari ribuan santri yang ada di Annuqayah, hanya satu dua orang yang mampu menggapainya.

Berangkat dari hubungan emosional yang kuat di antara kami, akhirya berdirilah sebuah komunitas penulis yang kami beri nama Rumah Sastra Bersama (RSB). Komunitas inilah yang banyak mengantarkan penulis-penulis muda ke arah yang lebih baik, khususnya penulis yang tinggal di Latee. Masih segar dalam memory saya tempat berkumpul kami tiap Rabu, di atas WC. Ya, di atas WC kami jadikan tempat untuk bertukar pikiran, sharing pengalaman, mengoreksi tulisan, ngobrol yang tidak jelas bahkan bertengkar. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, anggota komunitas ini mulai bertambah, tidak hanya dari satu pondok atau satu sekolah saja, bahkan Lora pun ada yang ikutan. Akhirnya muncul inisiatif untuk menerbitkan sebuah antologi yang berisi karya-karya kami anggota RSB, baik itu berupa cerpen, puisi maupun lainnya.

Tapi sayangnya bagi saya sendiri, sejak itu saya mulai skeptis dengan dunia tulis-menulis. Saya mulai memahami bahwa menulis itu hanyalah wasilah (perantara) untuk menerjemahkan apa yang ada di dalam pikiran kita, tidak lebih. Jadi, asalkan kita sudah bisa menyampaikan apa yang kita rasakan dan pikiran, serta orang lain bisa menangkapnya, itu sudah cukup. Tidak perlu cerpen, tidak perlu puisi, tidak perlu apa-apa. Saya beranggapan bahwa semua tulisan itu intinya sama. Essay, opini, artikel, dan lain-lain hanya sebatas perantara untuk menyampaikan isi pikiran, jadi tidak perlu ditekuni terlalu jauh. Yang terpenting adalah bobot dari apa yang tertulis, bukan tulisannya.

Pemahaman seperti ini muncul di pikiran saya karena melihat karya-karya para cendikiawan yang sama sekali tidak mempunyai latar belakang kepenulisan. Banyak sekali buku-buku yang berbobot dan sarat ilmu yang disajikan dengan bahasa yang biasa saja. Dan terbukti buku-buku seperti itu banyak yang laku dan bermanfaat bagi banyak orang. Ditambah banyaknya wartawan-wartawan koran lokal yang salah dalam memberikan data, sehingga berita terkesan dihiperbolis, bahkan tak lebih dari fiktif belaka. Lantas saya berfikir, daripada belajar menulis, lebih baik saya memperbanyak ilmu pengatahuan dan menganalisis infrormasi yang masuk ke dalam pikiran saya, sebab inti dari menulis itu adalah apa yang disampaikan. Semakin berharga informasi yang disampaikan sebuah tulisan, maka semakin berharga pulalah tulisan itu. Toh pada akhirnya, saya yakin pasti bisa menuliskan isi pikiran saya seperti para ilmuwan dan cendikiawan itu. Lebih dari itu, saya berfikir bahwa kecakapan menulis itu hanyalah keahlian dalam bermain kata-kata.

Ideologi ini bersemayam cukup lama di fikiranku, lebih dari empat tahun. Hobi menulisku hilang, karya-karyaku mandeg, tulisan-tulisanku yang dulu entah ke mana. Pernah sekali, untuk menghidupkan kembali semangat menulis, saya mencoba menjadi wartawan Pusdat Annuqayah yang dibina oleh Ra Muhammad Mushthafa. Beberapa kali saya dan teman-teman mendapatkan arahan dari beliau tentang tehnik menulis straight news dan feature. Bahkan secara khusus beliau menawarkan pinjaman buku kepada kami. Di antara kami ada yang berlanjut, konsisten dan aktif, tapi tidak sedikit yang menyerah dan mengundurkan diri. Saya termasuk golongan yang kedua. Akibatnya, semangat menulis benar-benar lenyap dari jiwaku.

Hingga semester IV di kampus, ideologiku yang aneh tentang kepenulisan tidak kunjung hilang. Kini bakat menulisku betul-betul tumpul. Saya mulai merasa kesulitan menyusun makalah-makalah tugas kuliah. Harus mulai darimana? Yang itu apa ya bahasanya? Kalau yang ini pasnya memakai kata yang mana? Bahasa ini kok rasanya hambar sih? Saya mulai merasa ada sesuatu yang terlewatkan, sesuatu yang sangat urgen dalam kepenulisan. Sesuatu itu adalah “cita rasa”.

Sebenarnya saya pernah menyadari hal ini di awal-awal waktu saya suka menulis. Waktu saya menulis tidak untuk menyelasaikan tugas, tidak untuk dipublikasikan, tidak untuk ikut lomba, tidak untuk apa-apa, hanya sekedar hobi. Ya, hanya sekedar hobi. Tapi entah sejak kapan kesadaran itu hilang, hanyut oleh tetek-bengek dunia kepenulisan lainnya. Honorarium, gelar juara, terbit di Kompas, Annida, Horizon, Radar Madura dan tetek-bengek lainnya membuat saya lupa diri. Saya menulis tidak lagi murni karena hobi, tapi sudah dikotori keinginan-keinginan lain yang hingga saat ini belum pernah kesampaian. Hal itu juga ikut andil membentuk ideologi aneh yang saya alami ini. Sialan!

Ruh dari keahlian menulis itu ialah untuk memunculkan cita rasa. Ya, cita rasa.
Memang benar bahwa tulisan itu hanyalah perantara untuk menerjemahkan isi pikiran dan ide-ide yang kita punya. Sama halnya dengan memasak agar bisa makan dan akhirnya bisa kenyang. Jadi menulis itu sama dengan memasak, ide-ide yang tekandung sama dengan gizi masakan, membaca tulisan sama dengan makan, dan bertambahnya ilmu pengetahuan sama dengan kenyang. Tapi, menulis ala kadarnya tanpa ada sentuhan seni sama sekali tak ada bedanya dari memasak tanpa bumbu, kurang matang atau malah gosong. Untuk itu, agar masakan terasa lezat dan diminati banyak orang, tentu harus diberi bumbu yang pas dan dimasak dengan tehnik yang baik. Tidak kurang dan tidak lebih. Makanan sebagus apapun dengan kandungan gizi setinggi apapun tidak akan diminati orang jika rasanya tidak enak, sehingga pada akhirnya makanan itu akan terbuang sia-sia, bukankah begitu? Mana ada orang yang secara naluriah suka jamu yang pahit? Kecuali kalau sudah terpaksa, baru dia akan mengkonsumsinya.

Nah, alangkah lebih baik jika makanan ilmu pengetahuan itu disajikan dalam tulisan yang lezat dan enak dibaca sehingga banyak yang berminat dan lebih bermanfaat. Untuk menyajikan tulisan yang lezat, tidak hanya informasi bergizi yang dibutuhkan, tetapi juga keahlian dalam memasak tulisan itu sedemikian rupa sehingga tidak seperti jamu yang walau sarat guna tapi pahit. Penulis yang baik adalah koki yang baik, pandai meracik dan cermat membaca selera konsumen. Untuk menjadi koki yang baik, selain harus punya bahan masakan yang bagus juga butuh pengalaman yang melimpah.

Saya lantas bertanya-tanya, apakah tulisan saya ini sudah lezat ya? Jangan-jangan masih hambar, jangan-jangan kekecutan, jangan-jangan terlalu asin, atau malah tidak jelas rasanya. Hanya pembacalah yang tahu.