Langsung ke konten utama

Kuncinya Adalah Ikhlash

Dari pagi saya menunggu, dari jam 9.30, yaitu sejak panitia masih mengatur ruangan Aula as-Syarqawi dan mempersiapkan hal-hal lainnya untuk menyambut kehadiran Bapak Dahlan Iskan, menteri BUMN Republik Indonesia. Jadwalnya dia akan tiba di Annuqayah jam 11.00 siang bersama Syaikh Hasyimuddin, cucu ke-17 Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy, pendiri tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Sementara itu, selain saya sudah ada beberapa jamaah tarekat ini yang menunggu sejak sebelum jam 09.30 pagi.

Sambil menunggu, ketimbang nganggur dan tidak ada kerjaan, saya pergi ke kantin kampus dan duduk-duduk di sana bersama beberapa teman sambil makan, ngobrol dan internetan memanfaatkan jaringan wifi kampus. Namun hingga saya selesai update windows dan download beberapa lagunya Linkin Park, pak Dahlan dan rombongannya belum juga tiba. Dia dan rombongan baru tiba di aula as-Syarqawi pada jam 13.00 siang.

Saya merupakan salah satu pengagum Pak Dahlan. Dalam pandangan saya, dia adalah orang yang benar-benar luar biasa. Dia adalah sosok yang patut dicontoh dan digugu. Tindakan-tindakan, kepribadian, gaya hidup, dan misi-misinya mencerminkan bahwa dia adalah orang yang mulia. Sebagai seorang pengagum, kesempatan bertemu beliau adalah momen yang saya tunggu-tunggu dan merupakan sebuah kebahagiaan yang tidak boleh saya lewatkan. Pada hari ini akhirnya kesempatan itu datang, saya berkesempatan untuk melihat pak Dahlan secara langsung, mendengarkan suaranya dan jika beruntung bisa bersalaman dan ngobrol dengannya. Untuk itulah, menunggu tiga jam setengah bagi saya bukanlah masalah.

Acara pun dimulai. Setelah sambutan dari KH. Ahmad Basyir AS, pengasuh PP. Annuqayah, pak Dahlan diberi kesempatan untuk berbicara. Di awal pembicaraannya, dia bercerita tentang tarekat yang dia ikuti, tarekat Satariyah. Dia berasal dari keluarga yang mengikuti tarekat ini. Namun dia dan keluaga kehilangan guru setelah mursyid terakhir tarekat ini dibunuh oleh PKI. Pengikut tarekat Satariyah tercerai-berai tanpa adanya mursyid. Sebagai seorang pengikut tarekat, keberadaan mursyid merupakan sebuah keharusan. Oleh sebab itu beliau mencari mursyid dari tarekat lain. Dari sekian banyak tarekat yang ada, akhirnya tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah yang dipilihnya. Kedatangan Syaikh Hasyimuddin al-Qadiriy ke Indonesia tidak lain juga karena undangan pak Dahlan. Walaupun pengikut tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Indonesia lebih banyak dari Malaysia, namun Syaikh Hasyimuddin belum pernah berkunjung ke Indonesia.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia jurnalistik, mengurusi beberapa perusahaan besar, dan bahkan terjun ke dunia politik menjabat sebagai menteri, bagi saya pak Dahlan sama sekali tidak nampak seperti seorang pengikut tarekat. Namun ternyata sosok menteri yang hanya lulusan Aliyah ini cukup aktif mencari mursyid ke seluruh tanah air. “Timba yang mencari sumur, bukan sumur yang mencari timba” kata pak Dahlan. Seorang thalib harus selalu mencari pembimbing untuk menempa dan membersihkan hatinya yang kotor.

Menurut pak Dahlan, hati manusia itu bisa kotor, sama seperti tubuh dan pakaian. Untuk membersihkan tubuh yang kotor kita mandi secara berkala dan menggunakan sabun. Untuk membesihkan pakaian yang kotor kita perlu mencucinya dengan deterjen. Setiap kali tubuh atau pakaian kita kotor, kita harus membersihkannya memakai sabun dan deterjen. Begitu halnya dengan hati kita, harus senantiasa dibersihkan secara berkala. Hari ini hati kita sudah dibersihkan, mungkin besok akan kotor lagi, jadi perlu dibersihkan lagi. Untuk membersihkan hati tentu kita tidak dapat memakai sabun maupun deterjen. Lalu dengan apa? Tarekat, tarekatlah yang bisa membersihkannya. Dengan berdzikir, introspeksi, dan menempa hati agar bisa ikhlash secara istiqamah, hati kita akan senantiasa bersih. Itulah pesan yang disampaikan oleh pak Dahlan.

Dahulu pak Dahlan pernah menderita penyakit kangker hati, penyakit yang hingga saat ini belum bisa disembuhkan dengan obat. Oleh dokter hidup pak Dahlan sudah divonis tinggal enam bulan lagi. Tidak ada jalan untuk mengobatinya. Namun sebagai seorang muslim, dia wajib berikhtiar dan tidak boleh berputus asa. Oleh karena itu dengan penuh rasa ikhlash dan pasrah kepada takdir Yang Kuasa, dia pergi ke luar negeri untuk menjalani operasi ganti hati.

Di rumah sakit tempat dia akan dioperasi, pak Dahlan istirahat menunggu ada orang mati. Tapi bukan berarti dia mengharapkan adanya orang mati. Dia pasrah sepenuhnya pada takdir, dia ikhlashkan semua apa yang akan terjadi pada dirinya. Kalau itu memang kehendak Yang Kuasa, apa boleh buat? Dia tidak bisa menolaknya.

Hingga bulan ketiga, sudah ada beberapa orang yang mati di rumah sakit itu. Tapi tidak ada satupun hati yang cocok untuk didonorkan pada pak Dahlan. Ada yang cocok, namun kondisinya tidak beda dengan hatinya saat itu; sudah rusak dan penuh penyakit. Baru pada bulan keempat ada seorang anak muda berumur 21 tahun mati, kebetulan hatinya cocok untuk pak Dahlan dan kondisinya masih sehat. Operasi pun dilaksanakan, pak Dahlan dibuat mati selama 13 jam.

Keesokan harinya ketika operasi selesai, beliau sadar kembali dan membuka mata. “Alhamdulillah, saya masih hidup” gumannya dalam hati. Tapi dokter berkata “Pak Dahlan jangan senang dulu. Pak Dahlan mungkin hanya bisa bertahan hidup 3 jam”. Tapi tenyata hingga tiga bulan kemudian dia tetap baik-baik saja. Akhirnya dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke Indonesia.

Sejak saat itu, sejak dia diberikan umur tambahan oleh Tuhan, pak Dahlan bertekad untuk bekerja tidak karena uang. Dia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kepentingan masyarakat, mengikhlaskan semua yang dia miliki untuk kepentingan umat. Ada tiga keinginan yang dia miliki waktu itu; pertama, ingin menjadi guru para wartawan; kedua, ingin menulis sebuah buku; dan ketiga, ingin mengurus sebuah pesantren, yaitu PP. Sabilul Muttaqin.

Suatu ketika, tidak lama sejak dia sembuh dari penyakitnya, pak Dahlan dipanggil presiden dan diminta untuk menjadi direktur utama PT. PLN. Tapi dengan rendah hati dia menjawab, “Pak SBY, bukannya saya tidak mau, tapi kalau Bapak mengangkat saya sebagai Dirut PLN, Bapak akan menuai banyak kritikan. Kenapa mengangkat lulusan Aliyah sebagai Dirut PLN? Kok bukan sarjana liktrik? Kan lebih cocok”. Tentu saja dia bilang begitu, sebab di Aliyah dia memang tidak belajar travo, voltase, ampere, ohm maupun watt, melaikan ilmu nahwu, alfiyah, ilmu hadits, al-Quran dan fikih. Tapi pak SBY bilang “Saya tidak memerlukan pengetahuan tentang listrik, Bapak. Yang saya perlukan adalah kemampuan leadership, manajemen, dan contoh pemimpin yang baik”. Akhirnya pak Dahlan menerima jabatan itu, tapi dengan dua syarat: pertama, dia hanya mau menjabat paling lama tiga tahun saja, setelah itu dia ingin bebas kembali, dan yang kedua, dia mau bekerja tapi tidak mau menerima gaji. Bayangkan! Mau bekerja tapi tidak mau menerima gaji. Betul-betul gila!

Namun terbukti, selama kurang lebih dua tahun menjadi dirut PT. PLN, pak Dahlan berhasil melakukan terobosan-terobosan baru. PT. PLN berkembang begitu pesat, sarana dan prasarana banyak diperbaiki, beberapa pembangkit listrik baru berhasil dibangun, dan banyak daerah-daerah baru yang mendapatkan penerangan dengan baik. Tidak hanya di pulau-pulau besar, tapi juga daerah-daerah terpencil di kepulauan timur Indonesia.

Belum genap tiga tahun pak Dahlan menjadi dirut PLN, presiden kembali memanggil dan memintanya untuk menjadi menteri BUMN. Pada awalnya dia tidak mau menerima jabatan itu. “Pak SBY, saya tidak pantas menjadi menteri, saya hanya tamatan Aliyah. Biarlah saya tetap di PLN, tidak apa-apa nambah satu tahun lagi. Saya hanya ingin PLN di Indonesia lebih baik dari Malaysia” kata pak Dahlan mengajukan alasannya. Tapi pada akhirnya pak Dahlan bersedia juga menerima jabatan itu sesudah dipaksa oleh pak SBY. Sam’an wa thaa’atan dia menjalankan tugas sebagai menteri BUMN; mengurusi semua Badan Usaha Milik Negara, dari PLN, Pertamina, Bank Mandiri, BRI, BNI, perkapalan, persenjataan, kereta api, perusahaan garam dan lain sebagainya. Hingga saat ini, ternyata terbukti sudah banyak kemajuan yang dicapainya sejak menjabat sebagai menteri. Tindakan-tindakannya menunjukkan jiwa seorang pemimpin yang ideal, tegas, kreatif, dan berani.

Waktu ditanya “Bagaimana Bapak bisa melakukan tindakan-tindakan spektakuler seperti itu? Dari mana Bapak mendapatkan keberanian? Berani membuat terobosan baru, melawan sistem, dan berani mengambil semua resiko yang bisa saja terjadi?” pak Dahlan menjawab, ”Masalahnya bukan hanya pada keberanian, tapi lebih dalam dari itu. Namun kunci dari semuanya terletak pada keikhlashan kita. Mengikhlaskan harta kita, waktu kita, pikiran kita, tenaga kita, bahkan hidup kita. Jika kita mampu mengikhlaskan semuanya, pasrah pada takdir Yang Kuasa, apa yang tidak bisa kita lakukan?”.

Salut..!! Saya betul-betul salut. Kok ada sih orang seperti dia? Ikhlash bekerja tanpa digaji, ikhlash mendedikasikan hidupnya untuk umat, mampu konsisten, istiqamah, kreatif, produktif, sederhana dan rendah hati. Saya betul-betul merasa sangat kecil di hadapannya.
Saya... saya... saya ingin seperti dia!