Langsung ke konten utama

Sensasi 14° Celsius Di Gunung Lawu


Perjalanan menggunakan sepeda motor dari Sumenep ke Bekasi sebenarnya bisa ditempuh dalam 24 jam, dengan catatan tidak boleh istirahat kecuali untuk isi bahan bakar saja, dan harus melelwati jalur tercepat pula, yaitu jalur Pantura. Namun dalam perjalanan kali ini saya dan teman saya mengambil jalur yang berbeda karena masih harus menemui mas Tamanu di Prigen, Pasuruan. Tidak mungkin dari Prigen kami balik lagi ke Surabaya untuk kembali ke jalur Pantura. Itu adalah jalan memutar yang sangat jauh. Oleh sebab itu, dari Prigen kami langsung ke arah barat melewati Mojosari, Mojokerto, Madiun dan seterusnya.

Rencana awalnya kami ingin melewati Boyolali, lereng gunung Merbabu, terus ke Magelang, Wonosobo antara gunung Sumbing dan Sindoro, lanjut ke Purwokerto, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Purwakarta, dan berakhir di Bekasi. Tetapi rencana itu kami batalkan karena ketika sampai di Madiun kami mendengar kabar yang mengharuskan kami tiba di Bekasi secepatnya.

Dari Madiun saya ambil alih kemudi menuju Magetan. Maghrib sudah tiba dan kami istirahat di sebuah SPBU di Magetan untuk shalat. Bahan bakar masih banyak, saya kira cukup untuk nanjak melewati gunung Lawu. Setelah dirasa cukup istirahat, menjelang Isyaa kami lanjutkan lagi perjalanan. Perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Barat sudah dekat. Jalanan mulai menanjak dan udara semakin terasa dingin. Selain karena malam yang semakin larut, udara di ketinggian gunung memang selalu dingin, semakin tinggi semakin dingin. Tanganku mulai terasa sakit diterpa angin gunung yang kacep.

Gunung Lawu
Sebenarnya trek yang kami lewati asyik sekali. Kami melintasi tikungan-tikungan tajam menanjak, ditemani oleh suara hewan-hewan malam di tengah hutan, diterangi oleh cahaya bulan yang nyaris bundar sempurna, melintasi aspal halus yang memanjakan. Tetapi, waktu itu kami sudah berada di ketinggian yang cukup untuk menggigilkan badan. Hawa dingin yang menusuk, membuat ngilu persendian. Meskipun saya bisa bertahan, tetap saja saya ingin cepat-cepat sampai di tempat yang bisa digunakan untuk bermalam.

Meski kedinginan, saya masih sempat menikmati perjalanan. Dari ketinggian lereng gunung saya lihat kabut tebal seperti awan sudah berada di bawah kami. Warna putihnya memantulkan cahaya bulan, indah mempesona. Saya tidak lagi melihat sinar lampu kota di kaki gunung sana karena terhalang oleh kabut itu. Semakin tinggi kami menanjak, semakin terasa bahwa ini adalah pertualangan yang luar biasa, serasa berada di negeri atas awan. Meski ya sensasinya kurang begitu terasa karena waktu itu sudah malam.

Jam 21:00 kami tiba di daerah tertinggi gunung Lawu yang bisa dijangkau kendaraan bermotor. Di sana terdapat Posko Pengendalian Cemoro Sewu yang juga merupakan basecamp para pendaki yang ingin menjajal ketinggian gunung Lawu. Pos ini tepat berada di perbatasan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, yakni antara kabupaten Magetan dan Karanganyar.

Setelah mematikan mesin motor, saya mendatangi posko tersebut untuk menanyakan tempat penginapan. Di sekitar posko saya lihat beberapa orang sedang berjaga, saya pun menghampiri mereka.

"Mau nanjak, mas?" sapa seorang dari mereka mendahului saya

"Oh, tidak. Kami sedang mencari penginapan" jawab saya

"Oh, kalo gitu coba mas tanya ama penjaga yang di sana" kata orang itu lagi sambil menunjuk ke sebuah bangunan yang jendelanya terbuka. Saya pun bergegas menuju bangunan itu dan,

"Assalamu'alaykum, maaf mas, boleh nanya?" sapaku kepada orang yang berada di balik jendela kayu itu

"Wa'alaykumus salam. Oh ya, mau nanya apa, mas?" jawab orang yang kemudian saya tahu bernama Alfian. Mas Alfian ini adalah anggota KPGI (Komunitas Pendaki Gunung Indonesia) senior. Hampi semua gunung di Indonesia sudah pernah dia daki. Pemuda yang sehari-hari dipanggil Gogon ini bertugas di basecamp pendakian gunung Lawu.

"Tahu penginapan yang dekat dari sini nggak?" tanyaku

"Mas mau daki?" dia balik bertanya

"Nggak, mas. Saya dalam perjalanan ke Jakarta. Saya dan teman saya mencari penginapan untuk bermalam" jelas saya. Sengaja saya ngomong gitu, padahal di dalam hati saya sangat berharap diizinkan bermalam di basecamp ini.

"Daripada mencari penginapan, mending mas bermalam di basecamp saja. Nggak usah bayar". Hatiku bersorak, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah dapat penginapan, gratis pula.

"Terimakasih, mas, terimakasih" ucapku girang. Saya pun memindahkan motor dari seberang jalan ke tempat parkir di halaman basecamp. Tas ransel dan helm saya bawa ke dalam agar tidak basah oleh hujan.

Pintu masuk jalur pendakian Cemoro Sewu
Basecamp ini terdiri dari empat ruangan. Ruangan utama berada paling depan dan merupakan ruangan paling luas. Ruangan ini adalah tempat istirahat para pendaki yang hendak atau habis mendaki ke puncak gunung. Di sisi kiri ada bilik khusus penjaga dengan fasilitas yang lebih lengkap, yakni ada tv, lemari, kasur, radio kontek, dan beberapa selimut tebal. Di belakang ruangan utama ada dua ruangan kecil yang difungsikan sebagai tempat shalat dan gudang penyimpanan. Ada satu bilik lagi di belakang basecamp, namun bukan bagian dari bangunan utama. Bilik ini difungsikan sebagai dapur. Peralatannya cukup lengkap, ada wajan, rak yang penuh dengan mangkok dan piring, panci, kompor gas, dan kran air. Di sana juga terdapat meja kecil tempat menaruh stock makanan dan minuman cepat saji. Saya lihat di sana banyak stok mie instan, wedang jahe dan kopi saset.

Saat saya memasuki basecamp, ruangan utama sedang kosong, tidak ada orang di sana. Saya pun meletakkan tas ransel di pojok ruangan dan bersiap untuk tidur. Namun, ketika saya hampir terlelap, ada rombongan pendaki datang berjumlah tujuh orang ke basecamp. Mereka terdiri dari lima orang cowok dan dua cewek. Ternyata mereka adalah pendaki dari Kuala Lumpur, Malaysia. Ruangan yang tadinya kosong, kini sudah banyak orangnya. Setelah menyapa mereka dan basa-basi sekedarnya, saya memepetkan tubuh ke dinding ruangan untuk memberikan ruang pada mereka. Dengan berbantalkan tas ransel, saya mencoba untuk terlelap.

Namun, rupanya udara malam itu sangatlah dingin. Jam 23:30 saya terbangun karena tubuh menggigil kedinginan. Saya sudah memakai jaket windproof, mengikatkan sarung ke menutupi kepala, memakai celana jeans dua lapis, dan kaki dan tangan sudah tertutup semua. Jaket dan sarung saya rapatkan untuk mengusir rasa dingin. Tetapi semua pakaiaj itu tidak mampu menahan dinginnya udara gunung Lawu malam itu. Segala macam posisi tidur saya coba untuk menghangatkan badan. Saya coba terlentang, meringkuk, tengkurap, meletakkan tangan di sela-sela paha, bahkan saya coba duduk bersila menghadap kiblat dengan harapan ada bantuan dari Tuhan untuk menghangatkan badan. Sebagaimana Ibrahim tidak kepanasan di dalam kobaran api, saya juga berharap tidak kedinginan di tengah udara gunung. Tapi rupanya semua nihil tak ada hasil. Saya tetap mengigil dan tak bisa tidur.

Jam sudah menunjukkan pukul 00:00 tengah malam. Saya lihat rombongan pendaki dari Kuala Lumpur juga belum terlelap. Rupanya mereka merasakan apa yang saya rasakan, meski levelnya tentu saja berbeda. Mereka membawa perlengkapan yang memadai, seperti jaket gunung, sleeping bag, sarung tangan dan kupluk, sementara saya hanya memakai pakaian seadanya. Beku, man, beku!

Karena sudah tidak kuat dengan hawa dingin, saya pun memutuskan untuk ke dapur. Saya nyalakan kompor dan merebus air.

"Mau bikin apa, mas?" tiba-tiba ada orang menegur dari pintu dapur yang tak lain adalah mas Gogon.

"Ini, mau rebus air" jawabku dengan suara bergetar.

"Oh ya sudah. Kalo mau bikin mie, ambil saja. Kalo mau bikin kopi, itu stok masih banyak. Anggap saja rumah sendiri, nggak usah malu-malu" katanya

"Oh ya, makasih banyak. Saya mau bikin kopi aja" jawabku dengan suara yang masih bergetar.

Mas Gogon kemudian kembali ke biliknya. Saya melanjutkan aktivitas merebus air. Sambil merebus, saya mendekatkan tubuh ke kompor untuk mendapatkan hangatnya api. Tangan saya balik-balikkan di atas ketel supaya terasa lebih hangat. Tidak hanya itu, bahkan kepala dan tubuh saya bungkukkan ke atas perapian. Resleting jaket saya buka dengan maksud menangkap hawa panas api kompor dan menyimpannya di balik jaket. Saya tahu itu tindakan bodoh dan memalukam, tapi apa boleh buat, hanya cara itulah yang bisa kulakukan untuk menghangatkan badan. Dan ternyata cara itu memang efektif toh, setidaknya untuk beberapa saat sampai hawa dingin kembali berkuasa.

Jam 01:00 saya belum juga bisa tidur. Saya sudah keliling-keliling basecamp, lompat-lompat dan lari-lari, melakukan peregangan dan gerakan-gerakan lainnya agar tubuh berkeringat dan lebih hangat. Non sen! Tak ada guna. Akhirnya saya duduk saja di bilik belakang basecamp bersila sambil memandangi layar hp, mencoba mengalihkan pikiran agar tak terkonsentrasi pada hawa dingin. Iseng-iseng saya buka AccuWeather untuk mengetahui berapa derajat suhu udara di gunung Lawu waktu itu. Buset! Ternyata suhunya 14° celsius. Seumur-umur baru kali itu saya berada di cuaca dengan suhu di bawah 15° celsius tanpa menggunakan pakaian yang memadai. Saya jadi berpikir, 14° saja rasanya sudah menyiksa begitu, lantas bagaimana dengan tempat yang bersalju, yang suhunya sampai minus di bawah nol derajat seperti di daratan Eropa sana. Ya Tuhan, saya jadi tersadar, alangkah beruntungnya saya dilahirkan di Indonesia.

Tiba-tiba saya dikejutkan oleh kedatangan mas Gogon dari belakang.

"Mas, sendiri aja?" tanyanya.

"He'em" jawabku pelan.

"Ketimbang di sini sendiri, mending ke kamar aja ngumpul, ngobrol-ngobrol" ajaknya. Bagai kerbau dicocok hidungnya saya manut saja padanya. Lagipula dia ada benarnya juga, duduk sendiri tidak akan mengurangi rasa dingin. Siapa tahu suasana hangatnya ngobrol bisa sedikit meringankan rasa dingin tersebut.

Saya pun masuk ke bilin mas Gogon. Setelah berada di dalam, saya merasa ada yang berubah. Udaranya tidak sedingin di luar. Ada empat orang yang sedang ngobrol di sana, yaitu Mas Gogon, Mas Niko dan dua orang lagi yang tidak sempat saya tanyakan namanya. Mungkin karena bilik itu sempit, dan tiga orang sedang menikmati rokok jadi udara di dalamnya tidak sedingin di luar. Saya adalah orang kelima yang ikut nimbrung dalam obrolan mereka.

"Iya iya, saya sudah lama tidak memegang mayat" kudengar mas Gogon dengan semangat bercerita. Rupanya dia baru saja tiba di basecamp sehabis menolong korban kecelakaan di lereng gunung Lawu. Jalan di lereng gunung Lawu memang menantang, tikungan tajam dan menanjak tak jarang memakan korban. Malam itu ada tiga orang terluka akibat kecelakaan motor. Menurut cerita mas Gogon, sepertinya motor yang mereka pakai jatuh dan terjun ke bawah tebing. Untungnya tidak ada korban jiwa.

Mereka asyik mengobrol sementara saya hanya menjadi pendengar setia, tidak berkomentar apa-apa. Saya masih shock dan berusaha beradaptasi dengan udara dingin. Setelah cukup bisa beradaptasi, saya pun mulai ikutan ngobrol bersama mereka.

"Ya, begitulah mas" mas Gogon masih bercerita, "Saya di sini standby 24 jam. Jika ada panggilan, jam berapapun saya harus segera ke tempat kejadian. Itu sudah konsekuensi, soalnya ada sumpahnya gitu. Pernah dulu terjadi longsor di tengah malam. Mau nggak mau ya harus datang. Ini demi kemanusiaan" jelasnya. Dari ceritanya ini saya berkesimpulan bahwa mas Gogon adalah anggota organisasi relawan kemanusiaan semacam SAR dan PMI.

"Wah, perjuangan banget ya!" aku mulai ikut berkomentar mengagumi dedikasinya itu, "terus, untuk bakti seperti itu apa ada imbalannya, mas?" tanyaku pada mas Gogon. Mas Niko dan dua pemuda lainnya diam mendengarkan.

"Nggak ada" jawabnya, "Ini murni aksi sukarela. Justru kamilah yang tak jarang mengeluarkan biaya. Harusnya sih memang ada bantuan dari pemerintah, paling tidak dari Perhutani. Tapi, faktanya kami lebih sering mengeluarkan biaya dari kantong pribadi. Kadang ada beberapa donatur yang berbaik hati, tapi ya itu hanya cukup untuk keperluan di sini doang, selebihnya kami harus berjuang sendiri" dia menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asap putih yang segera hilang melebur dengan udara dingin.

Obrolan kami berlanjut sampai jam 2 pagi. Mas Niko terlebih dahulu tidur, karena besok pagi dia mau nanjak. Mas Niko adalah pendaki solo asli Tangerang dan tinggal di Jogja. Dari Jogja dia naik motor ke Cemoro Sewu. Saya dan mas Niko sama-sama tamu di basecamp ini, hanya saja karena mas Niko sudah sangat berpengalaman dalam hal mendaki gunung, dia lebih nyambung ngobrol dengan mas Gogon dan dua teman lainnya dibanding saya. Saya hanya berbekal pengetahuan sedikit hasil ikutan Indonesian Outdoor Festival dan cerita beberapa teman yang pernah mendaki, di samping juga saya pernah melewati beberapa lereng gunung sekalipun tidak sampai mendaki. Jadi yaah, saya tidak kuper-kuper amet soal pendakian. Hehe

Jam 03:00 pagi bilik sudah sepi, mas Gogon tidur duluan sambil berpesan pada saya untuk membangunkannya jika ada panggilan radio. Saya beralih nonton tv. TV yang hanya bisa menangkap gelombang TransTV dan TVRI, stasiun lain buram bersemut dan berisik. Tapi, tak lama kemudian saya ikut terlelap. Empat orang yang berada di bilik mas Gogon sudah tidur semua, lalu saya yang terakhir.

Jam 5 pagi lewat sedikit saya terbangun. Saya lihat mas Niko sudah tidak di tempatnya. Saya pun bergegas ke masjid di seberang jalan dan berwudhu untuk melakukan shalat shubuh. Sebentar lagi waktu Shubuh akan berakhir.

Sekitar jam 07:00 saya dan teman saya pamit ke mas Gogon untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan di hari kedua kami mulai. Dalam perhitungan saya, diperkirakan kami sampai di Bekasi jam 9 malam. Setelah memanaskan mesin sepeda motor, kami berangkat menelusuri jalanan menurun dari Gunung Lawu menuju Boyolali, Ungaran, Semarang, Kendal dan seterusnya lewat jalur Pantura sampai di Bekasi. Ternyata perkiraan saya tidak meleset. Kami sampai di Jatiasih pas jam 21:00. Alhamdulillah, kami sampai di Bekasi dengan selamat.

Pengalaman di Cemoro Sewu, gunung Lawu merupakan salah satu pengalaman terbaik yang pernah saya alami. Dua kali saya ke sini, tapi kali ini lebih mengesankan. Saya harap dalam waktu dekat saya bisa benar-benar mendaki gunung, paling tidak gunung Cikuray seperti yang telah saya rencanakan dengan seorang teman.

Komentar