Langsung ke konten utama

Malaikat Itu Bernama Tamanu


Mas Tamanu dan saya di rumahnya
Saya tahu dan saya yakin di muka bumi ini masih banyak manusia berhati luhur dan berakhlak mulia. Manusia yang lebih mengikuti suara hati daripada hawa nafsu, manusia yang mendahulukan orang lain daripada kesenangan diri sediri. Saya betul-betul merasakan hal ini dan membuktikannya ketika diperkenalkan oleh Allah dengan mas Tamanu beberapa hari yang lalu.

Mas Tamanu adalah pemuda sederhana yang bulan April lalu berhasil mempersunting kekasihnya, gadis berdarah Pati, Jawa Tengah dan menjadikan dia pendamping hidupnya. Dia sendiri tinggal di Tretes, sebuah desa di lereng gunung Arjuno yang masih termasuk daerah Pasuruan, Jawa Timur. Dia tinggal berdua dengan ibunya di sebuah rumah sederhana dan sekarang sudah bertiga sejak istrinya pindah dari Pati ke Pasuruan.

Mas Tamanu bukanlah seorang sarjana. Pendidikan terakhir yang dia tempuh adalah SMK. Dia mengambil jurusan perhotelan, jurusan yang mengantarkannya bekerja di sebuah hotel di daerah Prigen sejak 6 tahun yang lalu. Secara ekonomi dia tidak bisa dibilang kaya, tetapi juga tidak miskin. Namun begitu, pembawaanya tenang dan dia terlihat bahagia. Sopan tutur katanya, sikap rendah hati dan sifat jujur apa adanya membuat saya yang baru pertama kali kenal dengan dia langsung bisa menilai, Mas Tamanu adalah orang terdidik. Berhasil tidaknya orang tua dalam mendidik anak tidak melulu ditentukan tingginya sekolah, tetapi dengan terbentuknya pribadi yang luhur dan berakhlak mulia. Di situlah letak suksesnya pendidikan yang sebenarnya. Orang tua mas Tamanu adalah salah satu dari sekian yang berhasil dalam hal ini.

Perkenalan saya dengan Mas Tamanu berawal dari sebuah musibah yang saya alami. Saat itu saya melakukan perjalanan dari Surabaya ke ke kota Batu mewati lereng gunung Arjuno. Pagi sekitar jam 7 pagi saya berada di daerah Pacet, Mojokerto. Dari Pacet saya menanjak menggunakan motor Vario 125 ditemani teman saya Suryadi melintasi jalur Cangar ke arah Bumiaji. Jalur Cangar adalah jalan yang memecah hutan belantara antara Pacet dan Bumiaji. Di sepanjang perjalanan mata saya dimanja dengan pemandangan alam yang luar biasa indah. Saya begitu menikmati perjalanan ini.

Hingga tibalah saya di sebuah tikungan tajam di daerah Gajah Mungkur yang disebut dengan tikungan Cinta, saya dan teman saya pun istirahat di sana. Sambil melepas lelah saya mengeluarkan hp dan mengambil beberapa gambar untuk mengabadikan pemandangan alam yang memanjakan mata itu. Tak henti-henti saya memuji kebesaran Allah yang telah menciptakan alam dengan keindahan yang paripurna. Saya pun terlena hingga saat kami ingin melanjutkan perjalanan, saya lupa memakai kembali tas selempang yang saya bawa. Tas saya tertinggal di sana, di tengah hutan dan waktu itu tidak banyak orang lewat di sana.

Perjalanan dilanjut, saya tidak juga sadar tas selempang tak lagi di pinggang. Sungguh keindahan dunia tak jarang membuat orang terpedaya, salah satu korbannya adalah saya. Sepanjang perjalanan saya benar-benar gila, teriak-teriak Subhanallah Allahu Akbar dari saking kagumnya pada hutan belantara itu. Lucu sekali kalau saya ingat kejadian ini. Bisa-bisa saya begito bodoh dan ceroboh. Haha

Begitu sadar tas saya tidak ada, saat itu kami sudah di Kota Batu. Kami hendak makan siang di sebuah warung pinggir jalan dan akhirnya tidak jadi. Mau tak mau, suka tak suka kami terpaksa kembali ke tempat kami istirahat tadi untuk mengecek, siapa tahu tas saya masih di sana. Sayang sekali, saya tas itu tidak saya temukan. Saya sudah bertanya kepada beberapa orang yang kebetulan ada di sana, tapi tidak ada satupun yang tahu atau melihat tas saya. Saya juga sudah menghubungi kantor polisi di Bumiaji dan Pacet, serta beberapa pos polisi di sepanjang jalur Cangar, siapa tahu ada orang yang menitipkan tas berwarna cokelat milik saya itu. Tapi hasilnya nihil.

Saya mulai panik. Bagaimana tidak, tas tadi berisi surat-surat penting. Di dalamnya ada dompet yang berisi KTP, STNK, SIM, NPWP, dan beberapa kartu ATM. Tas itu juga berisi jam tangan, kunci rumah, charger hp, dan uang tunai sekitar 300 ribu rupiah. Namun apa daya, saya sudah berupaya semampu saya, kini saya hanya bisa pasrah dan berdoa pada Yang Kuasa, mudah-mudahan tas saya diamankan oleh orang baik. Akhirnya saya pun pulang, balik lagi ke Madura untuk mengurus surat-surat yang hilang tadi.

Sebenarnya ada keyakinan di dalam hati bahwa tas itu akan kembali, cepat atau lambat. Saya yakin tas itu ditemukan oleh orang baik dan akan dipulangkan olenya kepada pemilik yang asli. Tetapi, sebagai langkah antisipasi, karena surat-surat tadi saya butuhkan dalam waktu cepat, maka saya pun mengurus penggantiannya ke kota Sumenep. Di samping itu, ada kemungkinan tas saya dibawa monyet yang berkeliaran di hutan sekitar Gajah Mungkur. Jika itu yang terjadi, maka tas saya sudah tidak bisa diharapkan kembali lagi. 

Lima hari setelah kejadian itu, saya selesai mengganti semua surat-surat yang hilang itu, kecuali STNK, karena harus diurus di Bekasi. Pas hari itu juga, ada kurir POS datang ke rumah membawa paket berisi dompet saya dan secarik kertas bertuliskan nomor hp dan pesan "Segera hubungin nomor ini jika paket sudah sampai". Itulah awal mula saya tahu Mas Tamanu.

Lusanya saya langsung pergi ke Pasuruan untuk mengambil barang yang masih ditahannya sekaligus berterimakasih kepada dia. Pagi saya berangkat dari Sumenep, siang sekitar jam 11:30 saya sudah tiba di rumah mas Tamanu. Saya dan teman saya diterima dengan baik olehnya. Kami dipersilakan duduk di sofa di ruang tamu yang luasnya kira-kira 10 m persegi. 

"Maaf ya, mas. Yang saya kirim hanya dompet dan kartu identitas saja. Tas, kartu ATM dan uangnya saya tahan untuk jaga-jaga paketnya tidak sampai" mas Tamanu menjelaskan. 

"Oh ya" lanjutnya, "uangnya juga sebagian saya pakai buat biaya Pos"

"Iya, tidak apa-apa, mas. Saya malah berterimakasih sekali mas sudah mau repot-repot mengembalikannya kepada saya. Entah apa jadinya jika bukan mas Tamanu yang menemukan tas saya itu" balas saya

"Ah, sudah seharusnya begitu, mas. Sudah menjadi tugas saya sebagai manusia untuk membantu sesama" 

"Njeh, mas. Alhamdulillah. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan mas Tamanu dengan balasan kebaikan yang berlipat" 

"Amin amin" 

Habis itu, kami ngobrol tentang banyak hal. Dia menceritakan kronologi dia menemukan tas saya hingga inisitaf untuk mengirimkannya lewat Pos. Tapi, karena obrolan rupanya semakin asyik, tema melebar hingga kisah hidupnya dan kisah pernikahannya. Di tengah asyik-asyiknya ngobrol, istri yang dia ceritakan muncul dari dapur membawa nampan berisi minuman.

"Curhat ni yeee" si istri menggoda mas Tamanu yang dibalas dengan kekeh kecil olehnya. 

"Monggo mas, diminum" istri mas Tamanu mempersilakan kami minum. Habis itu dia kembali lagi ke dapur dan kami melanjutkan obrolan.

"Ya begitu deh, mas. Jadi, kami bertemu pertama kali bulan Februari kemarin, sebulan kemudian langsung tak lamar deh" dia bercerita kisah pertemuaanya dengan istrinya itu.

Setelah agak lama ngobrol, saya hendak pamit untuk melanjutkan perjalan. Tetapi, tiba-tiba hujan turun deras. Kami pun mengurunkan niat kami dan melanjutkan obrolan tadi. Dari soal istri kini sudah pindah ke soal kerjaan.

Tak lama kemudian istri mas Tamanu muncul lagi dari dapur membawa nampan lainnya. Kali ini isinya bukan minuman, tapi dua piring mie goreng yang masih berasap dan telur ceplok.

"Silakan, mas. Ala kadarnya" mas Tamanu mempersilakan kami menikmati hidangan istrinya.

"Waduh, jadi ngerepotin nih. Makasih ya, mas" saya merasa nggak enak, harusnya saya yang ngasih, malah dia yang ngasih.

Sambil menunggu hujan reda, saya dan teman saya numpang shalat zhuhur di rumahnya. Barulah sekitar jam 1 siang hujan berhenti. Kami pun pamit untuk melanjutkan perjalanan. Tas dan semua isinya saya bawa, kecuali uang saya tinggalkan di sana semua. Apalah arti uang jika dibanding kebaikan hati mas Tamanu. 

Di zaman yang serba semrawut ini, mencari orang baik dan tulus itu semakin sulit. Okelah, orang baik banyak, tapi jarang yang benar-benar tulus dalam melakukan kebaikan. Yang banyak adalah orang yang menyimpan maksud di balik kebaikan yang dia lakukan. Maka tak heran jika hidup semakin terkekang, karena tak ada lagi cinta dan kasih sayang. Semua urusan diukur dengan positifisme "apa yang saya dapatkan, apakah sudah sepadan dengan apa yang saya lakukan?" keikhlasan dan ketulusan adalah omong kosong, karena sama sekali tidak menguntungkan. 

Mas Tamanu adalah salah satu dari orang-orang terpilih yang tidak hanya baik, tetapi juga tulus. Padahal jika mau, bisa saja dia ambil uang dan barang berharga lainnya, lalu buang sisanya. Dia untung dan saya tidak akan tahu. Sumenep-Pasuruan juga jauh, jadi tidak mungkin bisa diusut jika pun saya mau. Atau, bisa saja mas Tamanu minta tebusan kepada saya untuk tas dan isinya. Secara logika saya akan lebih memilih menebus barang itu daripada harus capek-capek mengurusnya ke kepolisian. Ribet, menguras tenaga dan pikiran.

Tapi semua itu tidak dia lakukan. Bahkan dia sempat ingin menolak saat saya bilang "uangnya buat sampeyan". Penolakan dia justru membuat uang itu semakin tak berharga bagi saya. Saya serahkan saja semua tanpa sedikit pun rasa eman. Padahal nominalnya lumayan. Sekarang baru saya menyesal memberikannya semua tanpa pikir panjang. Becanda kok, bercanda. Haha

Nah, saya yakin di dunia ini masih banyak Tamanu-Tamanu lainnya. Mereka yang tulus dan ikhlash membantu sesama. Saya juga berharap saya menjadi bagian dari golongan orang-orang mukhlisin ini. Sekecil apapun dan dalam bentuk apapun bantuan yang kita berikan kepada orang lain, jika kita lakukan dengan tulus dan ikhlash, maka percayalah ada Tuhan Yang Maha Melihat yang akan membalaskan. Kita tidak pernah tahu, hal remeh yang kita lakukan kadang sangat berarti bagi orang lain.