Langsung ke konten utama

Ke Pedalaman Pulau Bawean


Pulau Bawean, terletak sekitar 120 km di utara pulau Madura dan Jawa, merupakah salah satu pulau kecil di tengah laut Jawa. Pulau Bawean masih termasuk dalam teritorial perairan kabupaten Gresik. Meski begitu, bahasa dan budayanya bisa dibilang Madura banget. Untuk komunikasi sehari-hari masyarakat Bawean menggunakan bahasa Madura. Bahasa Madura yang digunakan adalah bahasa Madura "Kaulâ-dhika", tingkatan menengah dalam hierarki kesopanan bahasa Madura. Di sini cara berbicara dengan orang yang strata sosialnya lebih tinggi atau lebih lebih rendah adalah sama. Meski dialeknya mirip bahasa Maduranya orang Sumenep, namun tidak saya temukan penduduk Bawean yang menggunakan bahasa halus ala kraton.

Pegunungan terlihat dari pelabuhan Pulau Bawean
Awalnya saya tidak pernah menyangka akan tiba di pulau ini. Berawal dari undangan sepupu untuk menghadiri acara resepsi pernikahan dia di rumah istrinya, takdir pun menuntun saya untuk menginjakkan kaki di sebuah pulau kecil di antara Jawa dan Kalimantan. Tentu saja saya mengiyakan undangannya itu dengan senang hati, itung-itung bisa jalan-jalan ke wilayah baru yang belum pernah saya kunjungi.

Yah, saya juga tidak menyangka sepupu saya yang satu ini bisa berjodoh orang Bawean. Yang namanya jodoh memang kadang tak ada yang tahu. Sepupuku orang asli Sumenep kuliah di Jakarta, dapat jodohnya gadis Bawean. Mau diformulasikan dengan rumus apapun tidak akan ada titik temunya. Dari situ saya kadang berpikir dan merenung, jodoh dari manakah yang akan saya dapatkan nantinya. Ah, abaikan bagian ini, biar tidak terlalu melankolis.

Oke, singkat cerita, saya berangkat dari rumah di Madura pukul 09:00 malam dan tiba di pelabuhan Gresik yang jam 03:00 pagi. Kapal yang menuju pulau Bawean masih akan berangkat jam 08:30 pagi, jadi saya harus menunggu sekitar 4 jam lebih di pelabuhan. Daripada tidur di pelabuhan berteman dengan nyamuk ganas, saya memilih untuk istirahat di masjid as-Syafa'ah yang terletak tak jauh dari pelabuhan. Masjid as-Syafa'ah adalah masjidnya Polres Gresik yang baru selesai dibangun. Shalat shubuh saya lakukan di sana.

Sekitar jam 06:00, sambil menunggu waktu chek in, saya jalan-jalan di sekitar pelabuhan sambil mencari gorengan dan kopi untuk sarapan pagi. Tak lupa saya ambil beberapa foto untuk dokukentasi. Foto di pagi hari memang selalu apik di atas ekspektasi.

Panorama Pelabuhan Gresik
Jam 07.00 tiket kapal sudah di tangan. Tertera di atas tiket waktu keberangkatan, jam 08:00. Alih-alih berangkat, jam segitu saya baru di pintu masuk kapal berjubel dengan ratusan penumpang lainnya. Kapal baru bertolak dari pelabuhan Gresik saat jarum jam menunjuk angka 08:37. Telat 37 menit, asem! Mungkin dalam dunia transportasi laut ketelatan selama itu bukan masalah, entahlah. Ini adalah perjalanan pertama saya menggunakan kapal laut untuk jarak jauh, jadi saya belum tahu apakah telat ini memang menjadi tradisi atau nasibku saja yang apes waktu itu.

Lewat pengeras suara, ABK mengumumkan bahwa perjalanan ke pulau Bawean akan makan waktu 3 jam. Jauh lebih lama dibanding perjalanan Kamal-Tanjung Perak yang biasanya hanya 30 menitan. Ini saya tahu dari pengalaman, karena sebelum jembatan Suramadu belum diresmikan, setiap kali saya pergi ke Surabaya dapat dipastikan saya naik kapal Feri menyeberangi selat Madura. Jadi, bisa dibilang sebenarnya saya sudah terbiasa naik kapal laut. Namun, waktu itu tidak seresmi yang sekarang. Tiket kapal feri bentuknya tak beda jauh dengan tiket bis AKDP, hanya berupa sobekan kertas bertulis tempat asal dan tujuan. Bedanya hanya terletak di harga yang nanggung banget, Rp 4.750/lembar, yang apabila dibayar dengan selembar uang 5 ribuan tidak ada kembaliannya.

Keberangkatan Express Bahari dari pelabuhan Gresik ditandai dengan bunyi klakson panjang tiga kali. Kapal mulai bergerak dengan kecepatan sedang. Bunyi mesinnya kalem tidak berisik. Kapal berwarna biru langit ini berenang (bukan melangkah) melewati air laut yang berwarna keruh kecokelatan. Hingga 30 menit kemudian, barulah kapal berwana biru langit ini menambah kecepatan. Ternyata posisi sudah berada di lautan lepas, sehingga kapal bebas melaju dengan kecepatann maksimal, kira-kira 70 km/h. Bunyi mesinnya menderu lebih kencang, meski tidak sampai memekakkan telinga.
Dari buritan kapal, hanya lautan yang terlihat

Daripada duduk di kursi empuk yang tersedia di dalam lambung kapal, saya lebih memilih berdiri di buritan, berpegangan pada pagar besi. Saya lebih suka menikmati desir angin laut ketimbang udara dingin buatan yang dihembuskan pengatur suhu ruangan, lebih segar dan alami. Saya ingin benar-benar menikmati perlajanan ini, dan itu tidak akan bisa saya lakukan jika penglihatan terhalang oleh dinding-dinding kapal.

Dari buritan saya lihat air laut di kanan kiri kapal berbusa dan berkabut akibat hempasan kuat badan kapal, sementara di belakang saya lihat air laut berbentuk garis besar berwarna putih, mengekor seperti jalan bebas hambatan di tengah laut. Jika saya melepas pandangan ke arah horizon, hanya lautan luaslah yang saya lihat. Pulau Jawa di belakang sudah tidak terlihat, pulau Bawean di depan juga belum tampak. Angin laut yang kering dan kencang menerpa wajah saya dengan sangat kuat. Terpaksa saya menutup muka dengan telapak tangan untuk menahannya.

Yah, sensasi berada di tengah lautan memang luar biasa. Aromanya adalah aroma kebebasan, saya merasakan betul sensasi itu ketika terjun langsung ke tengah lautan lepas seperti ini. "Jadi ini toh yang kamu rasakan, Luffy? Ini luar biasa!" batinku. Sama sekali tak terpikir olehku kapal akan rusak, mesin tiba-tiba mogok, lambung kapal bocor, penumpang panik, kapal tenggelam, semua bayangan itu sama sekali tak terbersit. Saya hanya mencium bau pertualangan.

Imaji saya pun mulai bermain. Di kejauhan sana saya lihat beberapa kapal barang melintas dengan kecepatan onta di tengah padang pasir, lambat sekali. Apa tidak bisa lebih cepat dari itu? Mengganggu pemandangan saja! Ingin rasanya kapal-kapal barang menjengkelkan itu saya tembak menggunakan bazooka sambil berteriak "Fire!!" seperti kapten Barbossa. Tapi apa daya, saya bukanlah rival kapten Jack Sparrow, kemudi kapal berada di tangan kapten yang sebenarnya, bukan di tangan saya. Di samping itu pula, Express Bahari juga tidak dilengkapi dengan persenjataan semacam Black Pearl yang melegenda atau Sunny Go yang canggihnya melampaui imajinasi terliar manusia.

Lamunan saya buyar tatkala gelombang air laut semakin kencang, kapal terasa lebih keras bergoyang daripada sebelumnya. Matahari sudah berada di atas kepala, teriknya membakar, panas menyengat membuat saya memakai kembali topi yang tadi saya lepas. Meski begitu, rupanya sinar matahari begitu kuat. Lama-lama saya tidak tahan, saya pun berteduh di bawah atap buritan kapal.

Saya lihat layar hp, jam sudah menunjukkan pukul 11:45 WIB. Harusnya jam segini kapal sudah sampai di pulau Bawean, tapi ternyata... Ya Tuhan, rupanya saya terlalu asyik dengan imajinasi sendiri sampai tak sadar bahwa pulau Bawean sudah di depan mata.

Sesaat setelah tiba di Pelabukan Bawean
Dari laut pulau bawean terlihat begitu indah. Pulau Bawean ternyata bukan pulau datar yang terlihat seperti garis tipis yang membatasi permukaan laut dan kaki langit. Pulau Bawean adalah pegunungan mini yang terletak di tengah-tengah laut antara pulau Jawa dan Kalimantan. Pegunungan itu terlihat semakin mempesona dari bibir pelabuhan, it's so awesome! Air lautnya pun sangat jernih, berbeda sekali dengan air laut di pelabuhan seberang.

Pegunungan yang hijau dan air laut yang biru, sekali lihat saya bisa langsung mengambil kesimpulan "Pulau ini masih asri dan (agak) tertinggal". Untuk memastikan, saya lihat kembali layar hp.. "Emergency Call Only", tulisan yang begitu jelas dan tegas terpampang. Gawat! Selama tiga hari ke depan saya akan terisolasi dari dunia luar. Tanpa sinyal, tidak bisa internetan, tidak bisa mengakses sosmed, messanger, tidak bisa nonton youtube, dan lebih parah lagi tidak bisa melakukam panggilan telepon ke rumah. O my God o my God o my Goood!

Pulau Bawean tampak dari lautan
Setelah turun dari kapal, saya dijemput menggunakan mobil colt untuk menuju ke tempat istri sepupu saya itu. Saya kira tempatnya di sekitar pelabuhan gitu, ternyataaa... Saya masih harus menempuh jarak 15 km untuk sampai di sana. Ya Tuhan, serimba apakah tempat istri sepupu saya ini?

Kehilangan akses ke dunia luar tidak membuat saya stress, karena tergantikan dengan pemandangan alam yang begitu mempesona. Di sepanjang perjalanan ke rumah istri sepupu saya itu saya melihat gundukan-gundukan perbukitan yang indah, pepohonan yang besar dan rindang, serta hamparan sawah luas yang ditanami padi (ternyata di pulau ini ada kehidupan, syukurlah).

Tanjakan dan turunan tajam dilalui dengan entengnya oleh si sopir yang sepertinya sudah sangat berpengalaman itu. Tak lupa tikungan tajam juga dilibasnya dengan kecepatan yang aduhai, lambat sekali! Uniknya, hampir semua jalan raya di sini menggunakan paving, bukan aspal, bukan pula cor. Jalan kampung, jalan desa, bahkan jalan kecamatan semuanya dipaving. Memang tidak halus dan terasa bergetar di kendaraan, namun menurut penduduk setempat, paving lebih awet daripada cor dan aspal. Memang saya akui, saya tidak menemukan jalan berlubang atau tergenang air, semua paving tertata rapi dan rapat. Saya jadi penasaran siapa yang mengerjakan proyek jalan ini?

Kira-kira 1 jam kemudian mobil berhenti. "Alhamdulillah, sudah sampai" pikirku. Tetapi tiba-tiba, "Dari sini kita jalan kaki ke rumah istriku" kata sepupuku. Haloow! Saya curiga jangan-jangan rumah yang kami tuju adalah rumah di atas pohon semacam rumah adat punya suku Korowai di Papua gitu. Untungnya saya juga anak desa. Desa saya terletak di perbatasan kabupaten dan sebagaimana sudah menjadi rahasia yang tidak umum, daerah perbatasan selalu menjadi daerah paling tertinggal.
Panorama sawah di pedalaman Pulau Bawean

Namun ternyata semua pikiran horor yang berkecamuk di kepalaku buyar seketika saat sampai di rumah istrinya itu. Rumahnya memang sederhana, tapi cukup bagus untuk hunian yang menenangkan. Terletak di lereng bukit dan dari teras rumahnya mata langsung disuguhi pemandangan sawah yang menghampar bagai permadani beludru dan di ujung sana berakhir dengan bukit berselimut hutan dan menjadi pembatas antara bumi dan langit. Di samping itu saya juga disambut dengan ramah oleh tuan rumah, disediakan tempat tidur dengan bantal yang empuk, dan diberi makan tiga kali sehari.

Saya baru saja memasuki surga dunia, dan saya memang belum pernah mendengar bahwa di surga Tuhan menyediakan fasilitas jaringan telepon dan internet untuk penghuninya.