Langsung ke konten utama

Yang Kamu Lakukan Itu Jahat (?)

Jam 20.45 pm, setelah pamitan kepada remaja Masjid Jami Purwosari dan ustadz mereka yang baru saja datang, kami melanjutkan perjalanan. Saya yang pegang kemudi kali ini. Motor melaju dengan kecepatan sedang, antara 60-70 km/h. Sempat beberapa kali kecepatan tanpa terasa sudah di angka 80 km/h, tapi saya turunkan lagi ke angka 70 km/h. Meskipun penerangan jalam pantura cukup baik, berhati-hati tetaplah lebih baik. Lebih-lebih berkendara di malam hari dengan kondisi penglihatan saya yang tidak sebaik manusia normal lainnya, risiko jadi semakin tinggi.

Bagi saya berkendara di malam hari itu cukup menyiksa, di samping karena faktor mata minus, saya juga harus lebih banyak memicingkan mata untuk mengurangi silau lampu kendaraan dari arah berlawanan. Jadi, secara subjektif saya menilai keputusan ganti pengemudi di saat seperti ini sungguh tidak manusiawi. "Suryadi, kenapa kau biarkan aku yang mengemudi di malam hari? Kenapa bukan saat siang saja tadi? Suryadi, apa yang kamu lakukan pada saya itu jahat!"

Namun begitu saya mencoba tetap bertahan. Motor saya pacu dan berusaha tetap konsisten menekan seminim mungkin efek kejut yang ditimbulkan tarikan gas dan rem. Gas dan rem saya usahakan sehalus mungkin. Saya tidak mau menambah beban di pinggang akibat menahan berat tubuh dan gaya kinetis. Cukuplah pantat yang terasa panas setelah seharian nempel di jok motor. Di samping itu saya juga benar-benar menjaga jarak pengereman aman. Entah kenapa saya jadi paranoid begini, tidak seperti pagi tadi waktu perjalanan baru dimulai. Saya berubah total, manut sekali pada slogan "Biar lambat asal selamat". Akibatnya perjalanan menjadi benar-benar lambat.

Jam 10.30 pm kami tiba di alun-alun kabupaten Pati. Kami putuskan untuk istirahat sejenak di depan kantor bupati sambil mencari sesuatu untuk dimakan. "Saya lapar lagi" kata Suryadi, "Sama" kataku menimpali. Banyak PKL berjualan di alun-alun, sayangnya banyak pula yang sudah kehabisan stok dagangan, sepertinya kami sedikit kemalaman. Memang ada beberapa yang masih buka, tapi yang mereka jual adalah gorengan, pempek, siomay, bakso, atau sekedar minuman pengusir kantuk seperti kopi, bukan nasi. Sementara kami sejak kecil sudah tumbuh dengan doktrin "Makan itu harus nasi", jika bukan nasi bukan makan namanya. Gorengan sebakul dihabiskan juga tetap tidak dibilang "makan", tapi "ngemil". Karena doktrin itu sudah mengakar kuat di alam bawah sadar, malam itu kami pun bertekad hanya akan makan nasi. Jika bukan nasi, no way!

Gara-gara itu kami harus keliling alun-alun bertanya para pedagang satu-satu "Ada nasinya nggak, bu?". Alhamdulillah, tidak terlalu lama kami mencari, kami dapatkan menu makanan yang mengenyangkan itu, nasi liwet. Yeay! Nasinya sih biasa aja, lauknya tidak istimewa, tapi lahapnya jempol tiga. Acara makan sederhana ini kami paripurnai dengan menyeruput teh hangat yang mengaliri tenggorokan sampai terasa ke usus. Nikmat luar biasa!

Tak berselang lama kami lanjutkan lagi perjalanan. Seakan mengerti apa yang saya rasakan, Suryadi minta dia yang mengemudi, saya pun mengiyakan. Motor melaju lagi, tetap dengan kecepatan sedang. Ternyata tidak cuma saya, Suryadi juga berubah total, gaya mengemudinya jadi lebih kalem. Mungkin karena dia adalah Ghost Rider anomali. Ghost Rider yang biasa kumatnya di malam hari, brutal dan sangar saat matahari terbenam. Suryadi sebaliknya, di siang hari brutal, tapi di malam hari bertransformasi menjadi manusia setengah dewa. Saya menjadi lebih tenang di jok belakang. Namun, mungkin karena itu pula kantuk mulai menyerang saya. Sementara Suryadi masih santai beradaptasi dengan mengemudi gaya barunya ini, mata saya sudah kehilangan daya, merem melek tak terkendali.

Malam semakin larut, udara semakin dingin, kantuk pun semakin menjadi-jadi. Jika dari tadi pagi saya bisa bertahan tidak ngantuk, tapi kali ini mata saya benar-benar sudah tak bisa diajak kompromi. Setali tiga uang, rupanya Suryadi juga mulai tak sadarkan diri. Mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus mencari tempat istirahat untuk tidur, jika tidak ingin berakhir di rumah sakit, atau bahkan ke liang lahat.

Jam 23.30 pm, mendekati tengah malam kami menemukan sebuah masjid di pinggir jalan di daerah Rembang. Kami pun menepi. Saya tidak tahu apa nama masjid ini karena tidak ada penerangan sedikitpun di sana. Saya tidak bisa membaca tulisan yang biasa nempel di bangunan masjid. Masjid ini sepi, gelap, tidak berpagar, dan perumahan di sekitarnya juga jarang. Lokasi yang sangat riskan untuk bermalam. Kami tidak mau mengambil risiko, masjid ini kami lewati, kami tidak jadi bermalam di sini.

Akhirnya kami putuskan untuk bermalam di SPBU yang terletak tak jauh dari sana. SPBU itu sebenarnya juga sudah sepi. Terlihat beberapa truk sedang parkir, mungkin sopirnya lagi istirahat. Setelah minta idzin pada yang jaga, kami pun rebahan di tempat khusus yang sepertinya memang disediakan untuk istirahat para pengukur jalanan. Tidak sampai semenit kemudian saya sudah terlelap, tidur tanpa mimpi, begitu tenang.

Jam 03.00 am keesokan harinya saya terbangun. Saya mencoba memejamkam mata lagi, tapi tidak berhasil. Akhirnya saya putuskan ke mushalla, shalat sunnah dua rakaat yang kukhususkan untuk menaklukkan hati si dia, Aw! Sungguh momen yang tidak tepat. Haha... Habis itu saya duduk bersila menghadap kiblat, tidak melakukan apa-apa, hanya duduk saja. Tapi karena saya niatkan untuk itikaf, in syaa Allah berpahala. Aamiin.

Saya lihat jam di hp, "Masih pukul 04.10, masih bisa bersantai sebentar" gumanku. Lima menit kemudian saya keluar dari mushalla bermaksud membangunkan Suryadi untuk sahur. 10 menit saya rasa cukup untuk menikmati sedikit pengganjal perut meski tak harus nasi. Kebetulan di sana ada toko yang menjual makanan setengah berat, seperti roti dan mie instan. Namun, tatkala saya bangunkan Suryadi, bersamaan dengan itu pula dari kejauhan terdengar sayup-sayup "Imsaaak... Imsaaak...!". Ya Tuhan, saya lupa bahwa di sini Rembang, bukan Bekasi. Waktu subuh di sini lebih cepat belasan menit dari Bekasi. Tahu begitu saya bangunkan Suryadi lebih cepat. Akhirnya kami hanya sempat minum air putih dan makan jagung goreng (orang Madura menyebutnya Marneng) sisa tadi malam.

Ilâhî, Anta maqshûdî wa ridhâka mathlûbi, kuatkan jiwa-raga kami untuk puasa esok hari!