Langsung ke konten utama

Madura, I'm Coming

Jam menunjukkan pukul 05:15 am. Perjalanan ke kampung halaman masih tinggal 350-an kilometer. Rembang - Sumenep bukanlah jarak yang bisa dianggap enteng, lebih jauh dari Malang - Sumenep yang saya jalani bersama Muktirrahman bulan puasa tahun lalu. Saya masih ingat betul bagaimana rasanya menempuh jarak 250 km menggunakan motor bebek Suzuki Smash 110 cc dari Malang ke Kapedi, Sumenep. Berangkat jam 11:00 siang hari dan sampai jam 09:30 malam hari dengan 3 kali istirahat untuk buka puasa dan berteduh dari hujan, meskipun tujuan kedua tak berakhir menyenangkan, karena ujung-ujungnya kami basah-basahan juga.

Nah, kali ini saya harus menempuh jarak 350 km lagi untuk sampai di Sumenep. Namun, karena kondisi cuaca bagus, dalam perhitungan saya paling tidak jam 03:00 pm sore nanti kami akan tiba di tujuan, dengan asumsi istirahat sekedarnya saja. Selain itu karena bawaan kami kali ini tidak banyak, perjalanan in syaa Allah tidak akan terlalu melelahkan. Bismillah, dengan sisa semangat dan tenaga yang masih ada kami lanjutkan perjalanan.

Rembang, Lasem, Tuban, Lamongan, Gresik, lalu Surabaya. Dari Rembang kami berangkat jam 05:15 am, dan tiba di perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur sekitar jam 7 kurang sedikit. Sepanjang jalan antara Lasem dan Tuban mata kami dimanjakan pemandangan pantai pesisir utara pulau Jawa di pagi hari. Rasa penat dan lelah menjadi tertawarkan oleh pemandangan indah ini. Jam 8 lewat sedikit kota Tuban sudah kami nikmati. Sayangnya kami tak bisa singgah di rumah makan tempat saya biasa istirahat jika naik bis malam dari Sumenep ke Jakarta, karena saat ini kami sedang berpuasa.

Perjalanan pun dilanjut. Di Tuban kami salah mengambil jalan (lagi), yang harusnya belok kanan ke arah kota Lamongan, kami malah lempeng aja, lurus mengambil jalur utara lewat jalan raya Tuban - Gresik. Entah kenapa dalam perjalanan ini setiap kali kami salah ngambil jalan kesasarnya selalu ke utara. Kemarin di Semarang, sekarang di Tuban. Oh Tuhan, apakah ini pertanda jodoh?

Singkat cerita, akhirnya kami sampai di Gresik, dan sebentar lagi tiba di Surabaya. Sebentar secara jarak, tapi tidak secara waktu. Gresik - Surabaya yang seharusnya tidak sampai 30 menit perjalanan harus kami tempuh selama 1 jam. Hal ini karena kondisi lalu lintas yang padat merayap sepanjang jalan Gresik - Surabaya. Truk kontainer berukuran gigantik memenuhi jalanan, debu beterbangan mengotori atmosfer sehingga untuk bernafas saja rasanya geli. Sungguh kota yang sangat kotor dan berjubel, sangat tidak enak untuk tempat hunian.

Mendekati Surabaya kemacetan semakin menjadi. Kendaraan besar dan kecil berebut celah untuk bisa merengsek ke depan, dengan harapan bisa lepas dari kemacetan secepat mungkin. Namun, justru saling berebut di jalan malah membuat kondisi lalu lintas semakin tak karuan. Gerahnya cuaca menjelang siang ditambah gerah oleh suara berisik klakson yang silih berganti memenuhi gendang telinga. Tempat ini adalah neraka!

Selepas dari macet yang membuat stress itu, kami masuk Jl. Rajawali. Kini jarak antar kendaraan lebih regang, kecepatan laju antara 40 - 50 km/h. Namun itu tak berlangsung lama, karena di Jl. Kapasan lalu lintas semrawut lagi. Sopir becak yang seenaknya melawan arus menjadi penyebab utamanya. Di samping itu, pejalan kaki yang menyeberang secara tiba-tiba, sepeda motor yang parkir di bahu jalan, dan angkot yang ngetem sembarangan menambah ruwet lalu lintas. Kacau kacau kacau!

Perjuangan barulah benar-benar berakhir saat kami sudah tiba di Jl. Kenjeran. Yeay, sebentar lagi belok kiri dan masuk ke jalan akses jembatan Suramadu!

"Di, nyalain kameranya dong" pintaku pada Suryadi. Kami menepi sebentar untuk mengambill kamera dari dalam tas dan menyalakannya. "Oke sudah" jawab Suryadi. Motor saya lajukan lagi. Senang sekali rasanya sebentar lagi saya akan melewati jembatan terpanjang di Indonesia. 

Sebenarnya saya sudah terbiasa lewat jembatan Suramadu, tetapi menggunakan motor membuat saya merasakan sensasi unik yang berbeda dari naik bus atau mobil. Dengan naik motor saya juga lebih leluasa melihat pemandangan di sekitar jembatan. Meski pemandangannya ya itu-itu saja, air laut dan kapal yang melintas di selat Madura. Jembatan sepanjang 5 km itu kami lintasi dalam waktu tak lebih dari 6 menit.

Yang tidak kalah mengasyikkan sebenarnya adalah melintasi jalan akses Suramadu sisi Madura. Jalan yang membentang dari Jembatan Suramadu sampai ke Tangkel ini relatif sepi. Maklum, karena orang seberang jika ke Suramadu biasanya langsung putar balik kendaraan saat Suramadu sudah dilewati. Tujuan mereka hanyalah Suramadu, bukan Madura. Suramadu adalah aktor utama, pulau Madura hanya figuran saja, nggak penting! Kasihan sekali Madura...

Nah, karena jalan akses ini lurus dan sepi, saya bisa ngedrag sepuasnya memacu motor sampai kecepatan maksimal. Sayangnya kecepatan motor Vario saya mentok di angka 100 km/h. Entah karena sudah setelan pabriknya seperti itu atau karena muatannya berat sebab boncengan, yang jelas saya tidak bisa menaikkan kecepatan di atas angka itu, padahal gas sudah full dan rem dilepas total. Jarak 13 km dari Suramadu ke Burneh ditempuh dalam waktu yang lebih lama dari ekspektasi saya.

Dari Tangkel, kami belok kanan ke jalan raya Kamal - Kalianget, jalur utama yang menghubungkan empat kabupaten di pulau Madura. Jalan ini relatif ramai, dan apabila bertepatan dengan hari pasaran, bisa dipastikan terjadi macet total di pasar Tana Mera dan pasar Blega kabupaten Bangkalan. Lepas dari itu perjalanan ke arah timur bisa dipastikan lancar kecuali terjadi insiden di tengah jalan.
Jam 01:00 pm kami istirahat di masjid Al-Ihsan, masjid nan nyaman yang terletak di perbatasan Sampang dan Bangkalan. Kami memarkir motor di dekat toilet, kemudian berwudhu untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Cukup lama kami istirahat di sini, sekitar satu jam. Bahkan saya sempat terlelap sebentar dimanjakan angin sepoi-sepoi. Jam 02:00 pm barulah kami lanjutkan perjalanan lagi menuju Sampang, Pamekasan, lalu Sumenep.

Sekitar jam 04:00 pm, saya sudah tiba di pasar Kapedi. Alhamdulillah, sesudah mengantar Suryadi ke rumahnya di Lenteng, akhirnya saya tiba di rumah dengan selamat pukul 05:00 pm, pas 18 menit sebelum buka puasa. Senin, 19 Juni 2017, malam ke 25 Ramadhan, saya menikmati buka puasa bersama keluarga untuk pertama kalinya pada Ramadhan tahun ini.

Oh ya, ternyata jarak yang kami tempuh dalam perjalanan ini bukan 920 km seperti estimasi awal dari Google Map. Saya melakukan pengukuran menggunakan odometer sepeda motor yang saya pakai. Waktu berangkat dari bekasi odometer menunjukkan angka 21.791 km, dan saat tiba di rumah bertambah menjadi 22.752 km, sehingga jarak real yang kami tempuh berdasarkan angka pada odometer tersebut adalah 22.752 - 21.791 = 961 km. Jarak 961 km ini kami tempuh selama 35 jam, dari jam 06:00 am pada hari Ahad sampai jam 05:00 pm pada hari Senin keesokannya.

Selama perjalanan dari Bekasi hingga Sumenep, kami mengisi tangki bahan bakar motor sebanyak 5 kali, yaitu: di Pamanukan Rp 38 ribu, Tegal Rp 30 ribu, Semarang Rp 30 ribu, Tuban Rp 30 ribu, dan Bangkalan Rp 30 ribu. Jadi, total konsumsi bahan bakar adalah Rp 158 ribu. Angka ini belum termasuk bahan bakar yang digunakan dari Bekasi ke Pamanukan dan dari Lenteng ke rumah di Pasongsongan, sehingga estimasi total biaya untuk bahan bakar ini kira-kira Rp 180 ribu.
Sebagai penutup saya sangat berterimakasih kepada Suryadi yang telah menemani saya dalam perjalanan ini. Jazaka Allah khayral jaza. Jangan kapok untuk menjadi partner lagi pada arus balik nanti. Hehe