Langsung ke konten utama

Semacam Refleksi Kemerdekaan

Ilustrasi bersumber dari sini

Dahulu kala, Nusantara adalah wilayah yang kaya sumber daya alam. Banyak kerajaan besar berdiri di atasnya, dari Kutai di Kalimantan, Sriwijaya di Sumatera, Bali, Singasari, Kediri dan Mataram di Jawa serta kerajaan Majapahit yang mempersatukan seluruh wilayah Nusantara pada masa raja Tribhuwana Tunggadewi. Sungguh luar biasa wilayah ini, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan penduduknya yang ramah-ramah.
Namun kejayaan ini hancur karena pertikaian sesama saudara, penjajah pun dengah mudah bisa memperdaya. Dasar memang bangsa kita terlalu welcome terhadap tamu sehingga kedatangan Portugis pada abad ke-16 disambut dengan baik. Misi awalnya memang baik, berniaga dan menyebarkan agama Katolik dari Roma, tapi ujung-ujungnya adalah hasrat untuk berkuasa. Tak lama kemudian Belanda datang, Portugis pun hengkang. Belanda dan Portugis setali tiga uang, misinya untuk berdagang, tapi di balik batu rupanya ada udang. Di samping mencari gold, mereka juga membawa misi glory dan gospel di bumi Nusantara. Maka didirikanlah VOC sebagai topeng agar tidak dicurigai bangsa pribumi.
Bangsa kita adalah bangsa yang ramah. Entah ini merupakan kelebihan atau kekurangan, sebab keramahan bangsa kita membuatnya dengan mudah menerima pendatang, tanpa ada curiga dan prasangka sedikit pun. Kita adalah bangsa dengan husnuz zhan yang luar biasa, meski karena sifat inilah kita terjajah selama 3 abad lebih. Parahnya saat kita menyadari sedang terjajah, semua sudah terlanjur jauh. Pendatang sudah terlalu kuat berkuasa sehingga tak mudah melakukan perlawanan. Yang terjadi berikutnya adalah kondisi kita semakin terpuruk di bawah tangan penjajah, mental dan fisik terlalu lemah, tak ada daya dan upaya untuk melawan kehendak mereka. Itulah yang terjadi saat Belanda berkuasa, sehingga untuk merdeka kita perlu berjuang berdarah-darah.
Dan kini sudah 71 tahun kita merdeka. Belum sepertiga dari waktu lamanya kita terjajah. Kita baru saja merdeka, jadi jangan sampai terjajah lagi sepeti 71 tahun yang lalu. Kita harus belajar dari sejarah. Dijajah itu tidak enak, sumpah! Bangsa yang terjajah hak-haknya terkebiri, tanahnya diambil, dikeruk dan kekayaannya dirampas di bawa ke luar negeri. Sementara pemilik sendiri hidup terkatung-katung di garis kemiskinan. Masih untung jika tidak dipaksa kerja kerja dan kerja untuk kesenangan mereka.
Untuk itu, dalam berinteraksi dengan bangsa lain harusnya kita lebih hati-hati. Bentuk kerja sama dengan pihak asing harus benar-benar selektif. Menerima investasi asing tidak boleh sembarangan. Jangan sampai sejarah bangsa kita yang sudah terjajah oleh Portugis, Belanda dan Jepang terulang kembali. Mereka bisa menjajah kita karena kitanya yang terlalu welcome. Sebaiknya kita tidak memberikan porsi yang terlalu besar kepada asing dalam membangun negeri. Negeri ini punya kita, bukan punya mereka.
Yang harus disadari, penjajahan saat ini tidak blak-blakan seperti pada masa kolonial dulu. Penjajah bisa saja berkedok sebagai pengusaha, mendirikan pabrik di Indonesia untuk keuntungan dirinya, atau menanamkan modal secara besar-besaran hingga tingkat di mana negara terlemahkan. Maka jadilah kita bangsa yang terasing di negeri sendiri.
Pejajah bisa juga berwajah artis dan selebriti, menguras habis tradisi leluhur dalam negeri, menggantikannya dengan budaya-budaya tak berbudi yang entah datangnya dari mana. Maka jadilah kita bangsa yang tidak punya jati diri. Atau, bisa jadi penjajah itu berkedok agama, menanamkan ideologi terorisme di jiwa para pemuda. Mereka pun tak segan membunuh sesama demi menumpas kebatilan dan memburu surga. Maka jadilah kita bangsa preman yang suka kekerasan.
Penjajah kadang juga tak jauh dari luar negeri, tetapi dari golongan kita sendiri. Mereka yang tak malu mengambil hak saudaranya, menggelapkan harta negara, mempermainkan hukum dan peradilan, mendukung gerakan separatis yang memecah belah persatuan adalah kaum penjajah yang berbahaya.