Langsung ke konten utama

Ketika Pemerintah Ikut Bermain

Ilustrasi dari sini

Jelas bahwa penetapan harga rokok oleh pemerintah merupakan bentuk intervensi negara terhadap harga pasar. Di dalam ilmu ekonomi harga pasar ditentukan oleh hukum supplies dan demands (penawaran dan permintaan), bukan oleh produsen atau konsumen, apalagi oleh pemerintah. Harga pasar sudah setingkat hukum alam yang terjadi secara alami. Selayaknya hukum alam, harga tidak boleh dipermainkan, biarkan alam yang mengaturnya. Begitulah kira-kira yang dimaksud dengan Invisible Hand Theory yang dicetuskan Adam Smith. Maka dari itu, ikut campur pemerintah dalam menentukan harga pasar oleh aliran Smith dianggap sebagai sebuah kejahatan, karena dapat mempengaruhi keseimbangan alam.
Ibnu Taimiyah, seorang cendikiawan muslim juga sependapat dengan pemikiran Smith (atau sebaliknya, Smith yang setuju dengan Ibnu Taimiyah, karena secara kronologi Ibnu Taimiyah lebih dulu daripada Adam Smith). Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harga itu tidak ada rumusnya, tidak bisa dikalkulasi. Bahkan supply and demand pun menurutnya bukan sesuatu yang secara pasti menjadi faktor penentu harga pasar. Senada dengan yang diungkapkan Ibnu Taimiyah, Al-Maqrizi juga menyatakan bawah harga pasar itu adalah ketentuan Allah swt.
Tetapi, secara teori, para ahli ekonomi sudah sepakat bahwa permintaan dan penawaran merupakan penentu fluktuasi harga pasar. Harga akan turun ketika permintaan lebih rendah daripada penawaran. Sebaliknya, harga akan naik saat permintaan lebih tinggi daripada penawaran.
Namun begitu, ada situasi di mana hukum alam ini mengalami anomali, misalnya dalam pasar monopoli atau monopsoni yang berpotensi besar menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penentuan harga baik oleh produsen maupun konsumen. Dalam situasi seperti itu, pemerintah berhak melakukan intervensi harga. Intervensi ini hanya boleh dilakukan jika ada alasan yang benar-benar kuat, yaitu untuk melindungi produsen dalam hal mendapatkan laba dan konsumen dalam hal mendapatkan utilitas dengan harga yang adil.
Dalam kasus harga rokok, saya tidak menemukan alasan di atas. Dalam hemat saya, jika harga rokok naik, secara teori daya beli masyarakat akan menurun, produksi pun akan diturunkan juga, dengan begitu permintaan terhadap tembakau sebagai bahan baku rokok juga menurun. Saat permintaan terhadap tembakau menurun, sementara penawaran (dari petani) tetap, maka harga tembakau akan turun, jadilah petani tembakau yang merugi. Di sisi lain, menurunnya tingkat produksi rokok juga akan memaksa pabrik melakukan efisiensi tenaga kerja, atau istilah kasarnya melakukan PHK untuk mengurangi beban biaya produksi. Jika banyak karyawan di-PHK, pengangguran pun akan meningkat. Pengangguran meningkat akan menyulut tingkat kriminalitas. Kecuali jika pemerintah sudah mempersiapkan lapangan kerja alternatif bagi mereka, maka hal itu bisa diantisipasi.
Memang, tujuan menaikkan harga rokok itu baik, demi menjaga kesehatan masyarakat. Kita sudah ketahui bersama, kampanye anti rokok telah dilakukan dengan berbagai cara. Pesan ancaman dampak buruk merokok yang ditulis di bungkus rokok tidak berpengaruh signifikan terhadap minat rokok masyarakat. Selanjutnya tidak hanya pesan, tetapi juga gambar menjijikan ditaruh di bungkus rokok dengan maksud mengurangi intensi masyarakat dalam merokok. Tetapi upaya ini pun nihil, masyarakat tetap 'demen' pada makhluk yang satu ini. Maka diambillah langkah ekstrem, menaikkan harga rokok berlipat-lipat. Mungkin dengan menggunakan senjata 'duit', masyarakat akan berpikir dua kali untuk membeli rokok. Sayang-sayang duit segitu buat beli rokok. Tapi ingat, bagi yang sudah ketagihan, dia akan merasa panik dan tertekan. Berhenti merokok bagi mereka bukan pilihan, maka dicarilah cara agar tetap bisa merokok tanpa mengeluarkan banyak uang. Misalnya dengan kembali ke jaman 'pilin-pilinan'. Tinggal berbekal tembakau dan kertas rokok, diputar, dijilat, lalu dipilin. Jadilah kretek!
Selain itu, jika naiknya harga diiringkan dengan naiknya pajak rokok, pendapatan negara dari sektor pajak juga akan meningkat, dan menurut saya itu baik (dengan mengabaikan kasus-kasus korupsi yang terjadi). Tetapi, sebelum melangkah ke sana, alangkah lebih baik jika kebijakan ini dikaji terlebih dahulu secara komprehensif. Perhitungkan dampak negatifnya, dan carikan solusinya terlebih dahulu. Harus disadari bahwa kebijakan sekecil apapun jika yang melakukan adalah pemerintah, akibatnya akan bertaraf nasional, semua jadi terlibat.
Nah, barulah jika dampak negatif sudah diperhitungkan, dan solusi sudah disiapkan, maka bolehlah kebijakan dilaksanakan. Selanjutnya tinggal serahkan pada Tuhan.