Langsung ke konten utama

Kyai Juga Manusia

Sosok kyai memang selalu memberikan kesan tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan predikat ketokohan lainnya. Presiden, gubernur, bupati, kades, pegawai, sarjana, doktor, magister atau apapun itu tidak akan pernah bisa disamakan dengan kyai. Kyai adalah predikat yang tidak bisa dikejar dengan sekolah, dikampanyekan dengan iklan, atau dinilai dengan uang. Predikat kyai murni datang dari masyarakat karena bermodalkan kepercayaan. Ya, kepercayaan yang saat ini sangat sulit ditemukan pada predikat-predikat lainnya, termasuk predikat berupa jabatan.

Kepercayaan tidak bisa diperoleh dengan jabatan yang tinggi. Kepercayaan hanya bisa diperoleh dengan adanya bukti atau track record kata orang sekarang. Dan itu harus melalui proses yang tidak sebentar. Oleh karena itu tidak heran jika banyak pejabat dan calon pejabat yang ingin numpang kepercayaan kepada kyai. Sebab jika sudah mendapat kepercayaan dari sosok kyai, maka berarti mereka juga mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Inilah yang disebut dengan jalan pintas dianggap pantas.

Biasanya, para calon pejabat akan mendekati kyai ketika membutuhkan kepercayaan dari masyarakat, misalnya menjelang pemilu. Contohnya seperti yang terjadi menjelang pilpres kali ini. Masing-masing pasangan capres-cawapres mendatangi kyai untuk meningkatkan imagenya di mata masyarakat. Mereka minta restu dan dukungan untuk melaksanakan visi misi yang mereka punya. Kyai akan memberikan dukungan kepada calon yang memiliki visi dan misi serta track record paling baik. Oleh karena itu, tak jarang pendapat tiap kyai dalam menilai para calon kadang berbeda. Kata kyai ini calon A lebih baik, sementara kata kyai itu calon B lebih baik. Sama-sama kyai tapi berbeda pilihan. Bahkan ada kyai yang melandaskan pilihannya pada hasil istikharah dan munajat kepada Allah. Masyarakat menjadi bingung karena sosok kyai yang mereka percaya memiliki himbauan yang berlawanan. Tidak mungkin keduanya sama-sama benar. Jadi, mana yang harus diikuti?

Yang perlu diingat adalah bahwa kyai juga manusia dan bisa saja salah. Kyai bukan nabi; kyai membuat keputusan berdasarkan sebatas apa yang dia tahu; atau bisa saja kyai berada di bawah intervensi pihak lain. Sangat tidak bijak jika menganggap kyai selamanya benar. Buktinya, tak jarang terjadi pertentangan pendapat antara kyai satu dengan yang lain. Lebih-lebih dalam urusan berpolitik. Kyai selalu dijadikan tunggangan oleh sebagian politikus untuk mencapai tujuan mereka.

Kyai itu tujuannya hanya satu, kemashlahatan umat. Dalam urusan rohaniyah mungkin mereka tidak butuh bantuan birokrat. Tapi umat juga butuh kesejahteraan secara materiil, rasa aman, dan jaminan kemerdekaan. Hal itu tidak bisa diwujudkan tanpa melibatkan pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk merealisasikannya. Oleh karena itu kyai sadar bahwa mereka membutuhkan penguasa yang dapat mewujudkan cita-cita tersebut.

Nah, di sinilah letak masalahnya. Kyai (sebagaimana manusia pada umumnya) tidak memiliki kemampuan untuk membaca isi hati orang lain, termasuk calon pemimpin. Mereka hanya melihat apa yang terlihat, sementara apa yang terlihat itu tidak selalu menunjukkan yang hakikat. Kyai yang berpikiran lurus dan bersih dari berbagai macam kepentingan selalu mengedepankan kepentingan umat. Kyai membutuhkan informasi untuk menilai calon pemimpin mana yang terbaik menurut mereka dan paling dibutuhkan oleh umat. Namun, cara mereka mencerna dan menyikapi informasi tentang para calon itu berbeda-beda. Umat yang mereka asuh pun kebutuhannya beragam. Kyai Madura tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Madura sementara kyai Jawa mengerti kebutuhan masyarakat Jawa. Akhirnya keputusan yang mereka ambil juga berbeda.

Dari itulah, kyai berbeda pendapat itu biasa, sebab mereka juga manusia. Jangankan kyai, para sahabat saja sempat berbeda pendapat saat menentukan siapa sosok yang pantas menggantikan Rasulullah setelah wafatnya beliau. Para sahabat Anshar menunjuk Saad bin Ubadah, sementara sahabat Abu Bakr merekomendasikan salah satu antara Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah. Namun, masing-masing pihak tidak memaksakan pendapatnya sendiri sehingga perbedaan ini tidak sampai menimbulkan perpecahan. Pada akhirnya mereka berhasil memilih sosok pemimpin sehebat Abu Bakr. Jadi, sudah sepatutnya umat Islam di Indonesia meneladani para sahabat dalam memilih pemimpin. Tidak fanatik, tidak memaksakan pendapat, dan berfikir lebih objektif sehingga perpecahan umat bisa dihindari. Wallahu A'lam.