Langsung ke konten utama

Dinasti Kertas

Kita mungkin tidak pernah membayangkan sudah sejauh mana dunia ini dikuasai oleh benda yang bernama kertas. Siapa sangka kertas yang nilai instristiknya tidak seberapa itu justru bisa mengendalikan hampir semua ranah kehidupan umat manusia. Saat ini, nyaris semua hal bisa dinilai dengan kertas. Selembar kertas bisa jauh lebih berharga dari nilai aslinya. Kertas bisa berbicara, bahkan omongannya lebih dipercaya dibanding manusia. Satu contoh, kertas yang sangat familiar dalam kehidupan kita sehari-hari yang kita sebut dengan uang. Siapa yang tidak kenal uang? Semua orang tahu uang, semua orang butuh uang.

Sebelum uang dikenal, orang melakukan barter untuk saling memenuhi kebutuhan hidup mereka yang tidak sama. Pada tahapan berikutnya muncul benda-benda yang memiliki nilai estetik seperti kerang yang dapat ditukar dengan apa saja. Selanjutnya muncul logam-logam yang memiliki nilai instristik tinggi untuk dipergunakan dalam pertukaran, seperti tembaga, kuningan, emas dan perak. Pikiran manusia yang kritis dan kreatif merasa membawa logam dalam jumlah besar sangat merepotkan untuk dibawa, apalagi dalam perjalanan jauh. Maka, muncullah uang kertas yang lebih praktis dan mudah digunakan dengan bobot yang jauh lebih ringan. Pada akhirnya, hampir semua mata uang di dunia saat ini menggunakan bahan baku kertas.

Ternyata, uang kertas pun masih dirasa cukup merepotkan. Untuk menghitungnya butuh waktu yang lama, apalagi uang pecahan kecil dalam kuantitas besar. Kreatifitas manusia yang terus berkembang memunculkan jenis kertas baru yang lebih simpel namun tak kalah berharga. Maka, muncullah surat-surat berharga seperti cek, saham, obligasi, dan reksadana. Kertas-kertas ini walau secara fisik tidak berharga, tapi nilainya bagi sebagian orang terkadang lebih berharga dari nyawa manusia. Padahal pada hakikatnya, dalam dunia ekonomi bukan kertas-kertas itu yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup, melainkan sandang dan pangan. Kertas bukanlah sandang karena tidak bisa dipakai atau dijadikan tempat tinggal. Kertas juga bukan pangan karena tidak bisa dimakan dan tidak mengenyangkan. Tapi kenapa kertas-kertas itu sangat berharga dan dicari-cari oleh hampir seluruh umat manusia?

Selamat datang di dinasti kertas!

Dari dunia komersial mari kita pindah ke dunia akademik. Situasinya tidak jauh berbeda, kertas masih tetap berkuasa. Sejak lulus TK hingga sarjana S3, pengetahuan dan kemampuan seseorang dinyatakan dalam kertas, ijazah namanya. Tanpa kertas yang bernama ijazah ini, orang sehebat apapun tidak akan diakui. Itulah sistem yang kita anut saat ini. Untuk bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi atau masuk ke suatu instansi, ijazah menjadi persyaratan resmi. Kemampuan tak lagi dilihat, ijazahlah yang menjadi priortas. Untuk mendapatkan ijazah tersebut semua peserta didik diharuskan mengikuti ujian yang hanya dalam hitungan jam. Hitungan jam yang sangat menentukan masa depan. Yeah, mau tidak mau kita harus menggantungkan masa depan kepada selembar kertas yang sangat mudah dirobek dan dibakar. Sangat tidak masuk akal, bukan? Tapi, itulah kenyataannya.

Selain itu, penyelenggaraan pendidikan rasanya juga semakin berbelit ketika surat-surat dan sertifikat menjadi tuntutan. Instansi pendidikan harus bersertifikat; tenaga pendidik harus bersertifikat; bahkan belajar pun harus bersertifikat. Sertifikat sudah dijadikan predikat. Pada akhirnya, sertifikat menjadi pusat perhatian dan esensi pendidikan menjadi terabaikan. Hasilnya sudah bisa ditebak, certificate orientied education. Semakin banyak sertifikat dipunya, semakin besar kesempatan tersedia. Jadilah sertifikat dikejar ke mana-mana. Padahal, nilai dari lembaga pendidikan menurut saya jauh lebih tinggi dari selembar sertifikat, kompetensi tenaga pendidik tidak sepatutnya dinilai dengan kertas, harga ilmu pengetahuan pun sejauh langit dan bumi dibanding harga kertas. Miris rasanya ketika para tenaga pendidik dipaksa untuk bersertifikat agar bisa menyalurkan ilmunya. Jika kertas sudah lebih bernilai daripada mereka, kenapa tidak kertasnya saja disuruh mengajar, biar saya yang jadi muridnya.

Sekarang, mari kita menengok sedikit ke dunia yang lebih luas, dunia sosial. Kita buka tirai jendela lebih lebar untuk melihat lebih banyak sudah seberapa luaskah wilayah kekuasaan kertas dalam hidup manusia. Maka, akan kita dapati kertas berbicara lebih lantang daripada manusia. Silahkan saja Anda berkata “Ya”, jika kertas berkata “Tidak” maka kata-kata Anda hanyalah kebohongan belaka. Di pengadilan, di swalayan, di jalan-jalan, di kantor, dan di manapun Anda berada, kertas selalu lebih dipercaya daripada mulut berkata. Krisis kepercayaan antara sesama manusia membuat kertas menjadi pelarian. Kasihan sekali ya manusia!

Ternyata dinasti kertas sangat berkuasa dan digdaya. Bahkan lebih digdaya dari dinasti Romawi dan Persia. Namun, tidak berarti kertas akan berkuasa selamanya. Kekuasaan kertas saat ini tengah dirongrong oleh gempuran dinasti digital; sebuah kekuatan baru yang dengan cepat menggusur hal-hal berbau konvensional, termasuk kertas. Tapi, bukan itu yang saya dikhawatirkan. Saya justru khawatir dengan eksistensi otak dari semua dinasti ini, yaitu manusia. Saya takut eksistensi manusia akan menghilang secara perlahan tergantikan oleh kecanggihan dan kemajuan yang mereka ciptakan sendiri. Wallahu A’lam.