Langsung ke konten utama

Catatan Perjalanan ke Bogor (Bagian 8: Curug Naga)

Kebahagiaan di Curug Naga, Megamendung, Bogor
Rencananya jam 08.00 WIB kami sudah akan meninggalkan pesantren Fityatul Islam. Namun sebelum itu, kami diajakn Luqman untuk jalan-jalan ke Curug Naga. Tempat ini letaknya tidak jauh dari pesantren, tapi harus ditempuh dengan jalan kaki. Kendaraan memang bisa masuk, tapi tidak bisa sampai ke lokasi, sebab untuk sampai ke lokasi Curug Naga kami harus melewati jalan terjal dan berbatu. Kami berangkat dari pesantren sekitar jam 07.15 WIB dan tidak sampai 15 menit kemudian kami sudah sampai di lokasi.

Berbeda dengan jalan setapak yang kami daki untuk sampai ke puncak Bogor, jalan setapak yang menuju Curug Naga lebih sempit, hanya muat satu orang. Kami tidak bisa jalan bergandeng, melainkan harus berjejer ke belakang. Luqman yang tahun jalan berada di paling depan menjadi guide kami. Jalan setapak yang berbatu itu cukup curam, tapi karena batu-batunya tertata dengan cukup baik, perjalanan menjadi tidak terlalu sulit.

Jalan yang kami lalui untuk sampai ke Curug Naga adalah jalan setapak
berbatu yang agak curam
Curug Naga sebenarnya adalah tempat wisata yang cukup diminati. Curug adalah bahasa Sunda yang artinya air. Jadi, Curug Naga adalah tempat wisata air dalam bentuk sungai yang pas untuk outbond dan olahraga arum jeram. Aliran airnya cukup deras dan sangat jernih, ciri khas air pegunungan. Di sepanjang sungai banyak batu-batu besar dan kecil yang membuat aliran air berkelok-kelok dan melompat sehingga terlihat seperti air terjun mini. Bebatuan sungai dalam berbagai ukuran juga membuat sungai kelihatan lebih indah dan alami. Sementara di atas aliran air dahan-dahan pepohonan malang melintang meneduhinya dan sinar matahari yang mulai agak tinggi menerobos dedaunan. Bunyi aliran air, kicauan burung-burung dan gemerisik daun-daun yang diterpa angin terdengar seperti instrumen alam yang sangat indah menyejukkan hati. Udara segar pegunungan yang saya hirup memenuhi paru-paru menggantikan udara kotor di dalamnya. Kuhirup kuat-kuat udara segar itu, terasa sejuk di dada, lalu kuhebuskan dengan kuat juga. Kuhirup lagi, kuhembuskan lagi, dan begitu seterusnya tak puas-puas.

Saya adalah orang pertama yang turun ke sungai merasakan aliran airnya yang jernih. Lalu dengan tamak sekali saya mencuci muka menggunakan air sungai itu. Sungguh ada sensasi yang berbeda ketika air sungai menyentuk kulit mukaku. Dalam hati saya agak menyesal karena tidak memakai dalaman yang menutupi aurat, jadi saya tidak bisa menceburkan diri dan mandi sepuasnya. Alangkah indahnya jika hal itu betul-betul terjadi. Namun, karena saya memakai sarung, bukan celana panjang, saya cukup leluasa untuk masuk lebih dalam ke tengah-tengah sungai hingga permukaan air mencapai lututku. Sekali lagi aku mencuci muka sepuasnya. Sungguh sangat segar!

Tu Wa Ga, Lompaaaaaaat.... Ceburrr.....!!
Sementara teman-teman yang lain banyak berdiri dan duduk di bongkahan batu besar dan mengambil gambar dengan kamera digital yang kami bawa. Tapi, ada dua orang yang rupanya tidak kuat menahan keinginan untuk mandi di sungai itu. Mereka adalah Ivan dan Rahim. Tanpa babibu lagi mereka melepaskan baju dan kaos dan hanya menyisakan celana yang melekat di tubuh mereka. Lalu mereka melompat ke dalam sungai yang agak dalam, ceburr….!!! Warna air sama sekali tidak berubah walau sudah diobok-obok oleh mereka berdua, tetap jernih seperti sedia kala. Setelah beberapa lama berenang-renang, mereka naik ke atas bongkahan batu dan melompat lagi ke dalam sungai. Hal ini mereka lakukan berkali-kali. Sungguh mereka ini tidak tahu kapok, padahal tubuh mereka mengigil kedinginan dan berkali-kali berseru “Cellep… huuuuuuu”, tapi tetap saja mereka melompat lagi ke dalam sungai. Hah, dasar anak-anak!!

Menikmati kesegaran air pegunungan yang jernih dan sejuk
Awalnya kami hanya bermaksud sebentar saja di sana. Tapi rupanya kami keasyikan hingga lupa waktu. Jam 08.00 WIB barulah kami pulang karena perut sudah kruyuk-kruyuk. Sialnya, jalan pulang tidak menurun seperti waktu berangkat tadi. Kami harus mendaki melewati jalan menanjak yang tentunya akan lebih banyak makan tenaga. Haha, kasihan sekali kami! Untungnya waktu kami sudah tiba kembali di pesantren, hidangan nasi kuning dan lauk telur dadar serta sambal petis yang menggiurkan sudah siap dinikmati. Sekali lagi kami makan sangat lahap. Entah kenapa, makanan di pesantren ini selalu saja nikmat. Tadi malam, pagi ini, menunya selalu pas di lidah. Ternyata tidak hanya kami, para santri ternyata juga siap dengan piring mereka. Bedanya, selain nasi kuning, telur dadar, dan sambal petis, menu makan mereka juga ditambah dengan kerupuk.

Foto bersama pengasuh Pesantren Fityatul Islam sebelum pulang
Setelah makan, tubuh kami kembali berenergi. Lelah dan letih yang kami alami kemarin tidak terasa lagi. Semangat yang kami miliki sudah kembali seperti sedia kala, dan kami sudah siap untuk perjalanan berikutnya. Namun sebelum kami meninggalkan pesatren Fityatul Islam, kami sowan dulu ke pengasuh. Beliau sedang bercengkrama dengan sopir angkot yang akan membawa kami sebentar lagi. Selain itu kami juga sempat ngobrol sebentar dengan beliau. Tak lupa kami juga berterimakasih sebesar-besarnya atas sambutan dan hidangan yang telah disediakan sejak tadi malam. Setelah itu kami foto bersama. Lalu kamipun berpamitan dan masuk ke dalam angkot.

Brum.. brumm…. Angkot pergi meniggalkan pesantren membawa kami untuk pulang.