Pesantren Alam Tahfidhul Quran Fityatul Islam, Citameang Megamendung, Bogor |
Angkot melaju dengan kecepatan sedang. Memang angkot itu tidak mungkin akan melaju dengan kecepatan tinggi karena jalan yang dilalui menanjak dan rusak di beberapa bagian. Kami yang ada di dalamnya sudah tidak kuat lagi menahan kantuk dan lelah. Saya pun tidak bisa bertahan tetap terjaga hingga tiba di tujuan, Pesantren Alam Tahfidhul Quran Fityatul Islam. Yang saya ingat jalan yang kami tempuh didominasi oleh tanjakan curam dan tikungan-tikungan tajam. Dari dalam mobil saya melihat kelap-kelip lampu kota (entah kota apa) di kejauhan. Dari itu saya dapat menyimpulkan bahwa kami sedang berada di dataran yang tinggi, alias di atas gunung. Jika mengingat perjalan pada malam itu, saya jadi teringat jalan yang menuju desa Prancak dari Bragung, menanjak dan berliku-liku. Kondisi jalanannya pun saya kira hampir sama, bedanya cuma terletak pada letak geografisnya saja, ini di Jawa Barat, sementara Prancak ada di Madura.
Di tengah perjalanan, saya jatuh tertidur. Goncangan angkot yang disebabkan oleh jalanan yang tidak rata tidak mampu membuatku tetap terjaga. Saya baru terbangun waktu angkot sudah tiba di tempat tujuan, yaitu Pesantren Alam Tafidhul Quran Fityatul Islam. Saat itu sudah lewat jam 22.00 WIB dan kami keluar dalam keadaan yang kacau, ya kami semua kelelahan dan ngantuk. Setelah salaman dengan petugas yang berjaga waktu itu, Luqman membawa kami ke kamarnya.
Oh ya, menurutku pesantren Fityatul Islam ini adalah pesantren yang sangat unik. Pesantren ini baru dibangun tujuh bulan yang lalu, dan hingga saat ini santrinya masih berjumlah 17 orang. Pesantren ini memiliki naman panjang Pesantren Alam Tahfidhul Quran Fityatul Islam. Sesuai namanya, pesantren ini adalah pesantren yang benar-benar berbasis alam (yang barus saya sadari di pagi harinya). Pesantren ini –sesuai namanya—juga merupakan pesantren yang fokus pada hafalan Al-Quran. Pesantren yang terletak di desa Citameang kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor. Saya tidak tahu apakah Citameang itu nama sebuah desa atau hanyalah sebuah kampung, sebab setelah saya cek di Wikipedia, di kecamatan Megamendung tidak ada desa yang bernama Citameang. Atau, bisa jadi desa ini baru dibangun dan belum terdaftar di situs tersebut.
Makan dengan lahap setelah perjalanan yang melelahkan |
Ya, kami makan dengan sangat lahap. Tidak ada yang kami pikirkan waktu itu kecuali “Jangan sisakan makanan sedikitpun. Ganyang semua yang ada di depan kita ini”. Nasi putih hangat dengan lauk daging ayam goreng, singkong goreng, tumis terong dan sambal petis agak pedas, sungguh menu yang lezat sekali. Kami makan seperti orang yang sudah berbulan-bulan tidak menyentuh nasi, untungnya tidak ada tuan rumah yang bersama kami. Tujuh menit kemudian, semua makanan yang ada di hadapan kami habis sama sekali. Yang tersisa kini hanyalah piring-piring dan nampan tanpa isi. Kami pun duduk puas berselonjoran kaki, beberapa di antara kami ada yang mencari colokan listrik untuk mencharge hp. Tapi kami masih tetap tahu diri, semua piring dan nampan kotor itu sembelum dikembalikan harus kami cuci. Hanya itu yang kami lakukan sebagai balas budi.
Di depan bilik tempat kami bermalam |
Nah, seperti pesantren kebanyakan, jam 03.30 WIB semua santri sudah bangun untuk melaksanakan shalat malam, tak terkecuali saya. Bedanya, semua santri pesantren ini shalatnya di Masjid sedangkan saya di serambi kamar. Tapi sudahlah, tak perlu dikotomi dalam urusan ini, yang penting sama-sama shalat walau hanya dua rakaat. :D sekitar jam 05.00 WIB semua santri sudah pulang dari masjid. Matahari belum terbit dan sepertinya dia akan terbit lebih lambat dari yang biasa, soalnya di sebelah timur pesantren ada gunung yang menghalangi pandangan ke arah horison.
Setelah hari agak terang, saya mulai bergaul dengan beberapa santri. Saya pergi ke arah barat menuju dapur pesantren. Di belakang dapur pesantren terdapat tempat duduk yang biasa digunakan santri untuk bersantai sambil menikmati kopi dan pemandangan indah gunung Salak. Saya duduk bersama mereka sambil cerita-cerita. Bahwa nama gunung yang sedang saya perhatikan itu adalah gunung Salak saya tahunya dari mereka juga. Mereka semua duduk santai menikmati kopi hangat buatan tangan mereka sendiri. Hari ini adalah hari Jumat, hari libur pesantren, jadi mereka punya banyak waktu untuk bersantai.
Masjid Al-Fattah yang juga dibangun dengan bambu |
Pemandangan gunung Salak terlihat dari Pesantren Fityatul Islam |
Masih duduk santai bersama para santri yang sedang minum kopi, saya mengeluarkan ponsel untuk memotret pemandangan gunung Salak. Beberapa saat kemudian, muncul ide di benak kami untuk main bola. Saya dan para santri setuju untuk main bola dan saya diminta mereka untuk mengajak teman-teman dari Annuqayah. Setelah semuanya berkumpul di lapangan depannya masjid, kami dibagi menjadi dua tim. Awalnya kami membaginya dengan cara hom pim pa. Tapi, kemudian kami sepakat untuk pertandingan persahabatan saja, tim tamu melawan tim tuan rumah. Hmmm… ayo! Siapa takut?
Mail bola bersama santri Pesantren Fityatul Islam
|
Pada menit ke 15 saya sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan pertandingan. Nafas sudah ngos-ngosan dan dadaku terasa sakit. Mungkin ini akibat dari lamanya saya tidak berolahraga. Padahal dulu biasanya saya bermain bola dari jam 06.00 sampai jam 07.30 pagi tanpa diganti (soalnya jadi kiper doang. LOL). Akhirnya karena sudah tidak kuat lagi, saya minta diganti oleh pemain lain. Saya pun menyingkir ke pinggir lapangan jadi penonton. Tidak sampai jam 07.00 permainan sudah dihentikan karena tim tamu menyerah. Mereka kembali ke asrama untuk mandi.
Minum kopi untuk menghangatkan badan di serambi pondok |
“Dek, kamu rajin sekali ya bersih-bersih!” pujiku
“Tidak juga, Kak. Kebetulan sedang piket” jawab santri itu
“Tidak juga, Kak. Kebetulan sedang piket” jawab santri itu
“Oh, gitu”
“Kakak mau mandi?” tanya dia
“Ya, tapi males. Dingin!” jawabku sambil menggetarkan tubuh seperti orang kedinginan
“Iya, Kak. Di sini AC-nya nggak pernah dimatiin” kelakarnya.
“Haha, bisa saja kau! Memang Adik aslinya mana? Jakarta ya?” tanyaku padanya
“Bukan, Kak. Saya dari palembang”
“Hmm.. sekarang udah kelas berapa?”
“Masih kelas dua, Kak”
“SMA apa MA?”
“SMP, Kak”
“Hahahah, aku kira udah SMA”
Di tengah asyiknya ngobrol, aku lihat Basili sudah keluar dari kamar mandi. Aku pun langsung menggantinya. Sehabis mandi, kopi yang kuseduh tadi sudah tidak panas lagi. Waktu itu rombongan kami sudah berkurang satu orang, Amir. Dia bubar lebih dulu dari Pesantren Fityatul Islam karena mau mengunjungi pamannya yang tinggal di Bogor.
“Ya, tapi males. Dingin!” jawabku sambil menggetarkan tubuh seperti orang kedinginan
“Iya, Kak. Di sini AC-nya nggak pernah dimatiin” kelakarnya.
“Haha, bisa saja kau! Memang Adik aslinya mana? Jakarta ya?” tanyaku padanya
“Bukan, Kak. Saya dari palembang”
“Hmm.. sekarang udah kelas berapa?”
“Masih kelas dua, Kak”
“SMA apa MA?”
“SMP, Kak”
“Hahahah, aku kira udah SMA”
Di tengah asyiknya ngobrol, aku lihat Basili sudah keluar dari kamar mandi. Aku pun langsung menggantinya. Sehabis mandi, kopi yang kuseduh tadi sudah tidak panas lagi. Waktu itu rombongan kami sudah berkurang satu orang, Amir. Dia bubar lebih dulu dari Pesantren Fityatul Islam karena mau mengunjungi pamannya yang tinggal di Bogor.