Langsung ke konten utama

Catatan Perjalanan ke Bogor (Bagian 6: Penderitaan di Dalam Bus)

Dengan baju dan celana yang masih basah, saya menyusul teman-teman yang sudah lebih dulu meninggalkan masjid ke jalan raya. Kami akan melanjutkan perjalanan menuju tempatnya Luqman sekaligus untuk beristirahat di sana di malam harinya. Hari sudah mulai gelap dan gemerlap lampu-lampu kota Bogor di kejauhan memperlihatkan pemandangan sangat indah. Tapi saya sudah terlalu lelah untuk menikmatinya. Saya hanya sempat mengabadikannya dengan kamera yang disetting khusus untuk menangkap pemandangan malam. Habis itu saya buru-buru menyusul teman-teman yang sudah jauh meninggalkan saya.

Pemandangan malam yang tidak sempat saya nikmati karena terlalu capai, ngantuk dan kedinginan
Setelah agak lama menunggu angkot dan tidak ada yang menuju tempat yang kami tuju, akhirnya kami memutuskan untuk naik bus saja. Namun rupanya bus pun tak banyak yang lewat di sana karena hari sudah agak malam. Kami tetap menunggu dan memaksakan diri bersabar, terutama saya yang butuh kesabaran ekstra karena kedinginan memakai baju dan celana yang basah kuyup. Menjelang Isya’ akhirnya bus yang ditunggu-tunggu pun lewat. Saya senang sekali. Karena khawatir tidak akan ada bus lain yang akan lewat, kami memilih untuk naik bus yang itu apapun resikonya. Setelah mengadakan kesepakatan soal di mana kami akan turun dan berapa ongkos yang harus kami bayar, kami pun naik bus itu walaupun harus berdiri sepanjang perjalanan. Soal ongkos, kami tidak terlalu mempermasalahkan walau harus membayar 10 ribu tiap orang.

Di sinilah awal penderitaan kami dimulai. Busnya memang ber-AC; kursinya empuk dan masih bagus; suspensi oke dan nyaman; tapi itu semua tidak bisa kami nikmati. Bus yang sudah sesak dengan penumpang itu masih dijejali oleh kami yang berjumlah sembilan orang. Tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali harus berdiri sepanjang perjalanan. Selain berdiri kami juga harus berdesak-desakan dengan penumpang lain. Ditambah dengan tas dan koper bawaan kami yang gede-gede menambah sesak bus yang kelebihan muatan itu. Baik di tengah maupun di depan, semua sudah penuh dengan penumpang.

Saya berdiri di dekat pintu belakang bus bersama kenek. Sementara beberapa teman lainnya berdiri agak ke tengah bersama penumpang lainnya. Di dekat kaki saya ada seorang laki-laki setengah baya duduk di lantai bus. Sang kenek menegurnya,

“Berdiri, Pak! Bapak makan banyak tempat” kata si kenek.

“Tidak mau, saya tidak kuat berdiri. Kaki saya kesemutan dan lutut terasa ngilu” jawab lelaki setengah baya itu.

Si kenek tidak menimpali lagi. Lelaki setengah tua itu tetap duduk di lantai bus membuat saya tidak bisa menggerakkan kaki karena memang tidak ada tempat kosong untuk bergerak. Saya berdiri di dua anak tangga sekaligus. Kaki kanan berpijak pada anak tangga yang lebih tinggi, dan kaki kiri berpijak pada anak tangga yang lebih rendah. Jadilah kaki kiriku yang menahan hampir seluruh beban tubuhku. Hal itu terjadi dalam waktu yang cukup lama hingga akhirnya kaki kiriku terasa kesemutan dan tidak kuat lagi menahan beban. Saya mencoba memindahkan kaki kanan ke bawah untuk meringankan beban kaki kiri, tapi tidak muat. Kemudian saya mencoba cara lain dengan menaikkan kaki kiri ke atas agar berkumpul dengan kaki kanan, tapi juga tidak muat. Kasihan sekali kaki kiriku yang masih harus bersabar entah sampai kapan dengan beban tubuhku. Huhuuuu.. Dalam hati saya berharap lelaki setengah tua itu mau berdiri agar saya bisa menggerakkan kaki. Saya sudah tidak kuat lagi, sudah hampir satu jam saya dalam posisi begitu.

Saya tidak tahu apakah tempat yang kami tuju masih jauh atau sudah dekat. Tapi, jika melihat kondisi jalan waktu itu, jauh atau dekat rasanya sama saja. Bus yang kami tumpangi adalah bus yang bagus dan saya kira mampu melaju dengan kecepatan tinggi. Tapi apa gunanya bus bagus dan bisa berlari jika jalan yang dilaluinya tidak menghendaki. Bukan apa-apa, hanya saja kendaraan-kendaraan lainnya sangat banyak sehingga macet pun tidak terhidarkan. Sungguh saya tidak habis pikir, kenapa jalan ini selalu macet? Tidak siang tidak malam, maceeett terus! Apa tidak ada langkah dari pemerintah setempat untuk menanggulangi kemacetan ini?

Sedikit demi sedikit kesabaranku mulai habis. Tidak hanya kaki, tanganku juga sudah mulai pegal karena pegangan yang tidak pas. Rasanya saya mau marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Emosiku sulit sekali dikontrol untuk tetap tenang. Karena tidak tahu harus melampiaskan kemarahanku pada siapa, saya pun hanya bisa mendengus beberapa kali. Tapi dasar, dengusannku tidak berguna sama sekali untuk meredakan emosi. Sungguh perasaan yang sangat menyiksa!

Akhirnya karena sudah tidak bisa menahan diri, saya mencoba untuk duduk dan menjejalkan pantat ke sela-sela tumpukan tas di belakang kursi

“Hei, Mas!! Jangan dudukin tasku!” tiba-tiba lelaki setengah baya di dekatku menegurku dari belakang. Suaranya agak tinggi dan mengesankan bahwa dia tidak cuma menegur, tapi juga memarahiku. Waduuuhhh, Paaak. Kenapa kau ini? kau tidak tahu kalau aku lagi emosi? Tak bisakah kau menggunakan bahasa yang lebih halu. Misalnya “Maaf, Mas. Ada tasku di bawah mas.” Begitu saja sudah cukup, aku sudah ngerti dan nggak perlu tambah emosi. Ditambah bis yang lajunya kayak siput ini.. aaakkhhh.. rasanya emosiku mau meledak. Grrrrr…..!!!

Baiklah, Ini semua adalah penderitaan yang terjadi padaku saja. Terus bagaimana kabar teman-teman yang lain? Untunglah di antara mereka masih ada yang sempat tertidur karena ngantuk akibat kelelahan. Tidak ada ceritanya orang tidur menderita, bukan? Namun, ternyata ada beberapa teman yang tak kalah menderita daripada saya. Salah satunya adalah Ibnu Hajar; sepanjang perjalanan dia mabuk dan berusaha mati-matian menahan muntahnya. Sudah pasti dia keluar keringat dingin di sekujur tubuhnya, wajah pucat dan perut mual-mual. Ada untungnya perut dia kosong, jadi tidak ada sesuatu pun untuk dikeluarkan secara tidak manusiawi dari mulutnya. (LOL). Selain Ibnu Hajar ada juga Fathur Rahim; kondisinya lebih gawat dari Ibnu Hajar. Dia sempat pingsan di dalam bus karena tidak kuat (entah menahan apa). Untunglah ada penumpang lain yang cukup peduli dengan memberinya minum air putih. Penumpang lain itupun mempersilahkan Fathur Rahim duduk menggantikannya. Sementara teman yang persis bersamaku, A. Warits Hidayat, berkali-kali dia toleh kanan toleh kiri mencari sesuatu untuk dijadikan tempat duduknya. Tapi sayang, tidak ada sedikitpun tempat kosong yang bisa dia duduki Kasihan sekali!

Saya tidak tahu secara detail penderitaan yang dialami oleh semua teman seperjalananku di bus itu. Namun yang pasti, semua merasakan penderitaan yang tidak jauh beda. Dengan berdiri selama perjalanan saja sudah cukup disebut sebagai penderitaan. Bagaimana tidak, perjalanan yang kami lalui tidaklah sebentar. Kemacetan yang membuat bus berjalan seperti siput menambah lama waktu yang kami habiskan di jalan raya. Kami berangkat jam 18.30 WIB dari puncak Bogor dan baru keluar dari bus jam 21.00 WIB. Selama 2 ½ jam kami berdiri di dalam bus sambil menahan perut yang lapar, tubuh menggigil kedinginan, dan mata yang terkantuk-kantuk tapi tak bisa tidur. Malang nian nasih kami, Tuhan!

Ternyata kesialan yang kami alami tidak berhenti sampai di sini saja. Kami adalah penumpang awam yang tidak tahu harus berhenti di mana, kapan, dan sudah sampai sejauh mana kami berjalan. Yang kami tahu, sesuai kesepakatan waktu kami mau naik tadi, kami akan turun di pertigaan Unilever, entah di mana tempat itu berada. Saya sendiri beranggapan bahwa kenek atau sopir bus pasti tahu di mana tempat itu, jadi sepanjang perjalanan, saya dihantui perasaan harap-harap cemas, “Tinggal berapa lagi lama lagi sampainya ya? Atau jangan-jangan sudah lewat. Waduhhh!! Ah, itu tidak mungkin, soalnya kenek belum bilang apa-apa”. Saya berprasangka baik saja bahwa kenek pasti akan menurunkan kami di tempat yang kami tuju.

Namun, lama-kelamaan kok rasanya ada yang janggal. Terlalu lama rasanya perjalanan yang kami lalui. Tadi siang saja waktu berangkat, perjalanannya tidak selama ini, padahal jarak tempuhnya lebih jauh waktu berangkat. Karena merasa tidak yakin dengen diri sendiri, akhirnya saya bertanya pada si kenek saat mau membukakan pintu untuk seorang ibu yang mau turun dari bus.

“Pak, pertigaan Unilever Cipayung masih lama nggak, Pak?” tanyaku padanya

“Udah lewat, Mas” jawab ibu tadi, “pertigaan Unilever udah lewat dari tadi”

“Loh, kok Bapak nggak bilang-bilang?” tanyak pada kenek lagi

“Mana aku tahu” jawab kenek itu, “memangnya teman-teman kamu nggak ada yang tahu?”.

“Loh, Pak. Kami nggak tahu, Pak. Kenapa Bapak nggak menurunkan kami di sana tadi?” tanyaku lagi sambil menahan emosi.

“Saya tidak tahu, Mas, di mana itu pertigaan Unilever. Saya kira masnya yang tahu” jawabnya ngeyel. Saya rasa jawaban itu hanyalah caranya membela diri agar tidak disalahkan. Bagaimana mungkin seorang kenek tidak tahun tempat-tempat yang biasa dilalui busnya? Jika memang tidak tahu benaran, lalu kenapa dia menyanggupi saat kami minta diturunkan di pertigaan Unilever waktu naik tadi? Sangat tidak masuk akal. Tapi dia tetap tidak mau disalahkan atas kejadian itu. Dia malah menyalahkan kami yang tidak tahu arah.

“Ya sudah, Pak. Kami turun di sini saja!!” kataku dongkol. Kami pun turun di jalan yang entah di mana itu. Setelah semua turun, Ibnu Hajar yang tahu bahwa kami sudah lewat dari tempat seharusnya kami turun menjadi gusar dan sangat marah. Lalu dia menghampiri si kenek dan memarahinya

“Pak, kenapa sampai lewat begini??!! Bukankah sudah kami bilang tadi bahwa kami turun di pertigaan Unilever. Kenapa kamu tidak menurunkan kami di sana??!! Saya tidak terima, Pak. Ongkosnya saya minta balik” katanya dengan nada yang sangat emosional.

“Nggak bisa, Mas. Salah Mas-nya yang tidak tahu” sanggah si kenek. Habis itu bus langsung melaju lagi meninggalkan kami terdampar di tempat yang tidak jelas. Ibnu Hajar yang masih belum selesai melampiaskan kemarahannya makin gusar. Akhirnya dia berbalik mencari tempat berteduh karena waktu itu agak gerimis.

Sebenarnya tidak hanya Ibnu Hajar, kami semua merasa sangat kecewa pada bus itu. Tapi apa daya, kami hanya bisa saling menghibur walau sebenarnya sedang sama-sama emosi. Setelah emosi agak reda, perut yang kelaparan mulai kembali terasa. Saya baru ingat bahwa kami terakhir kali makan tadi pagi jam 9, dan sekarang sudah jam 9 malam lewat. Seharian penuh tidak makan membuat kami lemas, padahal perjalanan masih belum sampai ke tujuan, masih ditambah kesasar lagi. Alamaakk!!!

Akhirnya, sambil menahan emosi yang masih belum reda sepenuhnya, kami mencari warung yang menjual makanan. Tidak perlu warung nasi, yang penting jual makanan. Tidak jauh dari tempat kami turun ada sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari. Kami berhenti di sana dan membeli beberapa botol minuman dan makanan ringan untuk mengganjal perut. Saya hanya membeli sebungkus kerupuk dan sebotol minuman rasa buah, total seharga 10 ribu. Nikmat sekali rasanya walau hanya sekedar kerupuk. Memang benar kata orang bahwa lauk yang paling lezat itu adalah lapar. Sambil istirahat menghabiskan makanan ringan itu, kami berembuk apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Kami pun memutuskan untuk naik angkot ke arah berlawanan.

Agak lama kami menunggu angkot lewat. Banyak angkot yang sudah lewat di depan kami tapi semuanya sudah penuh. Saat ini kami membutuhkan angkot kosong untuk sembilan orang. Namun, selama kami menunggu, tidak ada satupun angkot lewat yang diperkirakan cukup untuk sembilan orang. Hingga pada suatu waktu, ada sebuah mobil pengangkut barang yang menawari kami tumpangan. Dengan bermodalkan sebungkus rokok kami naik mobil pengangkut barang itu kami memutar arah mengambil arus berlawanan. 15 menit kemudian kami tiba di pertigaan Unilever yang kami tuju dan di sana sudah ada Luqman yang telah lama menunggu.