Langsung ke konten utama

Catatan Perjalanan ke Bogor (Bagian 5: Pemandangan yang (Sangat/Cukup) Indah dari Puncak)

Ceritanya, kami pun berangkat menuju puncak yang terletak di selatannya masjid at-Ta’awun. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 500 meteran. Sekitar 200 meter ke arah selatan masjid kami menempuh jalan menurun yang beraspal menuju pintu yang akan mengantar kami ke jalan pintas menuju puncak.

Dari masjid At-Ta’awun, sebenarnya ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk menuju puncak: pertama jalan memutar yang agak jauh yang biasa digunakan untuk pengunjung berkendara, dan kedua jalan pintas yang hanya bisa dilalui pejalan kaki saja. Mengingat kami tidak membawa kendaraan pribadi, maka jalan kedua adalah pilihan yang tepat. Selain karena bisa menghemat banyak waktu karena jaraknya yang jauh lebih dekat daripada jalan pertama, jalan kedua ini juga cukup menantang untuk pertualangan yang lebih seru.
Setelah sampai di pintu yang akan mengantar kami ke jalan pintas, ada seorang ibu-ibu yang mencegat kami dan meminta uang karcis Rp. 8.000,- tiap kepala.

“Oh, memang harus bayar ya, Bu?” tanya saya pada ibu itu.

“Iya, Dek. Biasanya memang begitu” jawab ibu itu. Aku masih belum percaya. Jangan-jangan ini modus penipuan. Soalnya ini masih jauh dari puncak dan tidak ada papan nama yang menunjukkan bahwa ini adalah loket karcis masuk wisata.

“Ada karcisnya nggak, Bu?” tanyaku lagi.

“Nggak usah, Dek. Ngga perlu karcis, cukup bayar saja 8 ribu” jawabnya lagi. Aku semakin curiga bahwa dia adalah calo.

“Lah, terus kalo nggak ada karcisnya, gimana cara saya membuktikan bahwa saya sudah bayar ketika nyampe di atas nanti?” tanyaku semakin menyelidik.

“Sudahlah, Dek. Tidak akan ada yang bertanya seperti itu. Adek bayar saja sama saya, toh yang di atas sana juga suami saya yang jaga kok.” Jawab ibu itu. Sepertinya dia mulai kesal dengan petanyaan-pertanyaanku. Setelah berembuk dengan teman-teman, kami pun memilih untuk tidak panjang urusan di sini dan membayar saja.

“Ya sudah, Bu, kami akan bayar. Tapi, Bu, masak nggak ada potongan harga? Kami kan banyak, Bu”. Ibu itu terlihat agak kesal melayani kami. Saya sih sebenarnya juga nggak enak banyak omong sama dia. Cuma, saya tidak mau menjadi korban penipuan dan saya mengharap ibu itu bisa memaklumi kecurigaan saya ini. Sayangnya si Ibu rupanya kurang peka. Haha

“Ya sudah, 4 ribu aja, Dek” kata ibu itu pada akhirnya. Saya kira dia juga tidak mau panjang urusan dengan kami, makanya dia memutuskan dengan cepat. Kami pun membayar sejumlah uang sesuai dengan jumlah kami dikali Rp 4.000,-. Kami melewati pintu yang rasanya tak beda dengan pintu pemeriksaan di bandara internasinal itu.

Jalan pintas, jalan setapak yang menanjak
Setelah melewati pintu itu, di hadapan kami terpampang jalan setapak menanjak yang sangat terjal. Pasti akan menguras banyak tenaga untuk mendakinya hingga puncak. Ditambah tadi turun hujan yang cukup deras membuat jalan setapak itu licin dan semakin sulit didaki. Sedikit demi sedikit jalan setapak yang licin dan sedikit berbatu itu kami lalui. Di awal-awal masih lumayan ada palang-palang kayu yang membentuk tangga dan berfungsi sebagai pijakan kaki. Setelah kayu-kayu itu kami lewati, kini berganti batu-batu yang sepertinya baru diletakkan di sana yang menjadi pijakan kami. Semakin tinggi kami mendaki, batu-batu itu semakin sedikit sebelum akhirnya tidak ada sama sekali batu dan hanya jalan tanah licin yang menjadi pijakan kami. Kami harus pilih-pilih tempat berpijak agar tidak terpeleset dan jatuh. Hal itulah yang cukup membuat perjalanan kami semakin lambat. Namun hal itu pula yang kami nikmati dalam perjalanan. Kalau hanya berjalan saja tanpa rintangan mah jadi nggak seru lagi perjalanan kami ini. Bahkan di tengah jalan, kami masih sempat foto-foto di tengah kebun teh yang membentang di sisi kanan jalan.

Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri foto-foto di tengah kebun teh
Ketika kami sudah mencapai separuh perjalanan kabut kembali tebal menyelimuti. Pemandangan kebun teh di sisi kanan yang tadinya begitu memukau mulai kabur terhalang oleh kabut. Bahkan jarak pandang kemi ke arah depan juga mulai terbatas. Sepertinya kabut kali ini lebih tebal dari yang tadi kami rasakan di masjid At-Ta’awun. Kami tidak bisa melihat ujung jalan di puncak sana yang menjadi tujuan akhir dari pendakian ini. Namun, kami tetap melangkah setapak demi setapak hingga akhirnya kami tiba di ujung jalan setapak ini. Sisanya kami hanya perlu sedikit lagi melangkah ke arah barat untuk tiba di atas puncak yang sesungguhnya. Dari tempat itulah kami akan lebih leluasa melihat pemandangan sekitar yang sangat indah.

Setelah pendakian tadi seharusnya kami keringatan karena mengeluarkan banyak energi, namun hawa dingin udara gunung mencegah panasnya tubuh kami. Jadi, bisa dibilang kami tidak mengeluarkan keringat sedikit pun.

Karen kabut masih tebal saat kami tiba di puncak, tidak ada pemandangan yang bisa kami nikmati kecuali warna putih abu-abu. Kami hanya bisa duduk menunggu hingga kabut menghilang
Kini, akhirnya kami tiba di tempat tujuan kami, puncak Bogor. Bayangan pemandangan indah yang dari tadi pagi berseliweran di otak akan benar-benar nyata di depan mata. Namun sayang, bayangan tinggallah bayangan, pemandangan hijau hamparan kebun teh dan pununungan yang hijau tak dapat kami nikmati. Alasannya cuma satu, kabut menghalangi. Ah… benar-benar nggak asyik ni kabut!! 360 derajat kami mengarahkan pandangan yang kami lihat hanyalah asap putih kosong. Memang benar secara pribadi saya belum pernah berada di tengah kabut setebal ini, dan ini memberikan sensasi tersendiri bagiku. Tapi, bukan itu yang saya inginkan saat ini, bukan kabut, tapi pemandangan hijau yang indah. Untung-untung nanti kami bisa melihat pemandangan sunset dari atas sini. Ayolah, ayolah kabuuut, cepatlah hilang! Kali ini kehadiranmu betul-betul mengganggu.

Setelah kabut menghilang, maka terpampanglah di depan kami pemandangan sore yang sangat indah
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya kabut mulai menipis. Pemandangan indah yang saya idamkan mulai terlihat. Saya melihat sinar matahari yang mulai mulai memerah di barat sana karena hampir kembali ke peraduan. Matahari itu tidak tampak bulat karena terhalang oleh awan yang berwarna jingga, mega. Mega itu dikelilingi awan yang berwarna lebih gelap membentuk siluet senja yang begitu mempesona. Sungguh pemandangan yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Sementara di arah selatan sana, pegunungan yang tadi tersembunyi oleh kabut mulai menampakkan batang hidungnya. Pegunungan yang berlapis-lapis jika dilihat dari arah puncak membuatku seperti berada di surga. Rasanya saya sedang melihat lukisan Tuhan yang sangat alami, cantik sekali. Canvas langit di balik pegunungan itu memancarkan bercak jingga karena bias sinar matahari. Tidak hanya itu, saya alihkan pandangan saya ke arah utara, agak ke bawah saya lihat masjid At-Ta’awun yang nampak kecil sekali dengan kubah putihnya. Agak ke atas terpampanglah bukit-bukit yang dipenuhi pohon cemara. Saya tidak percaya bahwa saya berada di Indonesia. Kini saya menuju ke pinggir tebing dan melihat ke bawah, curam sekali. Bisa mati jika saya sampai jatuh dari sana. Memang sangat cocok jika tebing ini menjadi tempat lepas landas olahraga paralayang. Sayang sekali waktu itu saya tidak membawa parasut karena memang tidak punya. Haha. Tapi meski demikian, pemandangan yang tersaji di bawah sana tidak kalah indah dari pegunungan. Kebun teh yang terhampar bagai permadani empuk berwarna hijau. Sempat terbayang di benak saya untuk tiduran di sana sambil menghirup aroma teh yang segar. Ya Tuhan, alangkah alangkah ciptaanMu! Sekali lagi, alangkah alangkah ciptaanMu!

Gunung Gede di sebelah barat daya juga menyuguhkan pemandangan yang menyejukkan mata
Setelah puas foto-foto bersama teman-teman, kami pun kembali ke masjid Ar-Ta’awun untuk melanjutkan perjalanan ke tempat kami akan menginap di malam harinya. Sekali lagi kami harus melalui jalan pintas yang licin tadi untuk sampai di sana. Waktu perjalanan kembali inilah nasib saya kurang beruntung. Di tangah jalan setapak yang licin itu, kakiku terpeleset dan jatuh. Untunglah tidak ada yang sakit, tapi bagian belakang celana dan bajuku sedikit belepotan dengan tanah. Sial!!

Singkat cerita, ketika adzan Maghrib berkumandang, kami pun tiba kembali di masjdi At-Ta’awun. Kami sepakat untuk shalat Maghrib terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju tempat peristirahatan (bahasanya agak mengerikan. Haha). Mau tidak mau, saya harus mencuci celana dan baju saya yang kotor oleh tanah sebelum melaksanakan shalat Maghrib. Itu merupakan petaka bagi saya karena harus memakai pakaian basah di tengah udara yang dingin. Ya sudahlah, saya sabar saja menghadapinya. Sebab, kata orang, orang sabar itu banyak kambingnya, walau sebenarnya saya tidak suka kambing. Hehe.