Langsung ke konten utama

Catatan Perjalanan ke Bogor (Bagian 3: Perjalanan yang Sangat Melelahkan)

Setelah semuanya selesai shalat Dhuhur, kami bergegas untuk berangkat menuju puncak. Dari Ciawi, untuk sampai ke puncak kami naik angkot Colt L300 warna silver dan tiap orang dikenai tarif Rp. 10.000,-. Dari bodinya, mobil L300 ini nampaknya cukup mengkhawatirkan. Karat terlihat di beberapa bagian luar Mobil; kulit joknya sudah terkelupas semua sehingga menampakkan spon berwarna cokelat di dalamnya. Ketika saya masuk, bau tak sedap tercium oleh hidung saya, sangat mengganggu kenyamanan berkendara. Selain itu, keneknya yang berbadan gemuk dengan kulit hitam terbakar sinar matahari terlihat kurang begitu ramah. Nada bicaranya agak kasar, bahkan lebih kasar dari orang Madura. Dia memakai hem lengan pendek dan kancingnya tidak dipasang memperlihatkan perut buncitnya. Celana panjang hitam yang dikenakannya terlihat kusam. Saya lihat dia teriak-teriak mencari penumpang, padahal mobil sudah penuh. Mau ditaruh di mana lagi kalau ada penumpang? Saya saja duduknya tidak begitu nyaman, karena hanya sedikit dari bokong saya yang kebagian tempat duduk.

Setelah dirasa tidak ada lagi penumpang yang mau ikut, mobil pun berangkat. Bunyi mesinnya agak seret. Saya jadi ragu mobil ini tidak akan mogok di tengah jalan. Tapi di tengah keraguan itu, saya tidak enak mau keluar karena sudah terlanjut masuk. Bayangan saya tentang perjalanan ke puncak yang mengasyikkan sirnalah sudah. Kini saya harus berdesak-desakan dengan penumpang lain dan bertahan dengan bau tidak sedap di sepanjang perjalanan. Untungnya saya duduk di pinggir, jadi angin dari luar jendela mobil berhembus kencang ketika mobil sedang melaju. Hal itu cukup mengurangi bau yang tidak enak itu.

Awalnya –terlepas dari kondisi mobil yang menyedihkan ini—saya kira perjalanan akan lancar tanpa hambatan seperti halnya perjalanan ke Coban Rondo di Batu, Malang dua tahun yang lalu. Waktu itu angkot yang kami carter melaju tanpa hambatan karena jalanan cukup sepi. Jadi, sambil mendaki gunung, saya leluasa menikmati pemandangan pegunungan yang indah sekali. Tapi rupanya kali ini situasi sangatlah jauh berbeda dari Batu. Jalan menuju Cisarua sangat padat. Macetnya kiloan meter, bukan main!! Sejak saya hidup di dunia, baru kali ini saya mengalami kemacetan yang sungguh menyiksa. Pernah sih dulu terjebak kemacetan yang parah di jalur pantura. Tapi, waktu itu saya berada di dalam bis ber-AC dengan kursi yang nyaman. Sekarang, jangankan AC, kursinya saja sudah cukup menjadi penderitaan. Ditambah bau dan macet di tanjakan, sempurnalah penderitaan yang saya alami.

Berbicara soal macet, banyak yang bilang Jakarta adalah kota paling macet di Indonesia. Saya pun mengakuinya setelah beberapa kali terjebak kemacetan di Ibu Kota. Namun, setelah saya merasakan kemacetan di jalan Labuan – Cianjur ini, rasanya kemacetan Jakarta belum seberapa dibanding dengannya. Jika di Jakarta jalannya luas dengan banyak lajur sehingga semakin banyak kendaraan bisa masuk, di jalan ini hanya ada dua lajur saja dengan lebar masing-masing tak lebih dari 3 meter. Jika di Jakarta macetnya di jalan yang landai dan rata, di sini macetnya di jalan menanjak. Bayangkan betapa tersiksanya terjebak kemacetan di tanjakan! Untuk menghadapi kemacetan di jalan menanjak, sopir harus sigap dan ahli dalam memainkan rem tangan, kopling dan gas. Jika tidak, alamat mobilnya akan mundur atau malah menabrak kendaraan di depannya. Satu pelajaran yang saya dapatkan, butuh keahlian khusus untuk menghadapi kemacetan di tanjakan.

Perjalanan ke puncak Cisarua awalnya saya pikir tidak akan memakan waktu lama. Namun kenyataannya, setelah berangkat pada jam 12.30 WIB dari Ciawi, kami baru tiba di sana jam 14.00 WIB. Tak heran teman-teman yang lain banyak yang ketiduran di atas angkot. Lucu juga melihat mereka terlelap kelelahan dalam perjalanan yang sama sekali tidak nyaman ini. Bisa-bisanya mereka sempat tidur sementara mobil jalannya menghentak-hentak karena terjebak kemacetan di jalan menanjak. Sementara saya menderita berusaha menahan bokong agar tidak lepas dari dudukan. Kemudian, Di tengah perjalanan ada seorang ibu besama dua anaknya diajak si kenek naik angkot ini. Perfect, sempurnalah sudah penderitaanku!! Dari sana saya harus memangku anak lelakinya hingga kami tiba di puncak nanti. Keadaanku jadi makin mengenaskan jika mengingat sopir angkot yang kami tumpangi ini termasuk sopir yang tidak sabaran. Dia sering meneboros antrean, mendahului kendaraan lain melewati sisi kiri dan keluar lintasaan. Beberapa saat kemudian mobil ini merangksek masuk lagi ke lintasan memaksa kendaraan lain rem dadakan. Sungguh tidak sopan! Tapi berkat itu pula perjalanan kami bisa dipercepat. Entah sampai kapan kami akan terjebak di tengah kemacetan ini jika sopir kami tidak suka nerobos-nerobos.

Satu setengah jam kemudian akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Kami berhenti pas di pinggir Masjid At-Ta’awun. Setelah membayar ongkos angkot, saya mengucapkan terimakasih pada keneknya. Tapi tanggapannya sangat dingin. Masih mending ibu penumpang barusan, dia mengucapkan terimakasih karena telah memangku puteranya selama perjalanan. Sedangkan kenek itu… hmmmm Sungguh tidak manusiawi!!

Setelah itu kami langsung menuju Masjid At-Ta’awun untuk istirahat sejenak sambil menunggu Luqman yang sedang dalam perjalanan menyusul kami dengan motor.