Langsung ke konten utama

Catatan Perjalanan ke Bogor (Bagian 2: Shalat Dhuhur di Masjid Al-Amaliyah)

Menjelang Dhuhur, kami tiba di Ciawi. Kami turun dari angkot di depan Universitas Djuanda, Bogor. Di sana sudah ada teman kami Luqman yang menunggu kami. Luqman mengajak kami untuk istirahat sejenak di Masjid Al-Amaliyah dan shalat Dhuhur di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke Puncak.

Masjid Al-Amaliyah adalah masjid yang terletak di depan Kampus Universitas Djuanda. Di sebelah barat masjid ada simpang empat Ciawi yang merupakan pintu masuk Tol Jagorawi, tol yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta. Simpang empat ini sangat padat oleh kendaraan. Selain karena merupakan ruas utama jalan dari berbagai kabupaten, simpang empat ini juga merupakan pusat perbelanjaan.

Bangunan Masjid Al-Amaliyah, Ciawi, Bogor
Masjid Al-Amaliyan dibangun dengan gaya arsitektur yang sangat indah. Kami masuk dari pintu lantai dasar di sebelah barat. Ketika kami melewati pintu masuk ini, terbentang ruangan yang cukup luas untuk istirahat. Di sisi sebelah kanan ada tempat wudlu’ dan kamar kecil. Setelah bincang-bincang sebentar dengan Luqman, saya pergi ke tempat wudlu’ untuk mengambil wudlu’. Kebetulan saat itu adzan Dhuhur berkumandang. Saya lihat di sana-sini banyak siswa SMP yang berlarian di dalam ruangan. Beberapa di antara mereka ada sedang mengambil wudlu’. Saya pun menghidupkan kran air wudlu’ dan mulai membasuh kaki terlebih dahulu. Cyessss… air yang mengenai betis dan kakiku terasa sangat dingin. Aku sedikit terkejut dibuatnya. Air dingin itu membuatku betah berlama-lama membasuh muka dan kepala untuk mendinginkannya. Rasanya segar sekali! Panas dan lelah karena perjalanan sejak tadi pagi hilang seketika. Nikmat sekali rasanya bersentuhan dengan air yang sangat dingin ini.

Setelah selesai berwudlu’, saya kembali ke tempat teman-teman duduk berselonjoran melepas lelah. Ada juga yang tiduran sambil bermain gadget di tangan. Tak berselang lama kemudian Iqamah sudah dikumandangkan pertanda shata jama’ah Dhuhur akan dimulai. Saya pun naik ke lantai dua untuk ikut shalat Dhuhur berjama’ah. Sementara itu, beberapa teman lainnya bertugas menjaga tas dan koper bawaan.

Ada yang bilang bahwa jama’ah masjid ini adalah Wahhabi. Saya tidak peduli apakah mereka Wahhabi atau aliran lain. Yang saya inginkan hanyalah shalat Dhuhur berjama’ah. Asal jumlah raka’at dan rukunnya tidak berbeda dengan yang saya anut, saya tidak mempermasalahkannya. Saya tetap shalat jama’ah bersama mereka. Kecuali misalnya nanti ada rukun yang tidak sesuai dengan keyakinan saya, maka saya akan memilih untuk mufaraqah saja.

Setelah tiba di lantai dua, ternyata siswa-siswa SMP yang berlarian barusan sudah berkumpul di sana. Mereka semua berpakaian cokelat Pramuka. Ada seorang pembina yang mengahalau dan mengatur shaf mereka. Di bagian belakang masjid, saya lihat juga banyak siswi SMP yang seumuran sedang memakai mukena. Sepertinya shalat jama’ah Dhuhur memang sudah diprogram wajib bagi para siswa itu. Saya yakin bahwa SMP tempat mereka belajar berada di sekitar masjid ini, dan sekolah itu pastilah fullday school. Shalat jama’ah pun dimulai oleh Imam. Dari awal hingga akhir shalat, saya tidak menemukan kejanggalan dalam shalat yang mereka lakukan. Tidak ada rukun yang berbeda ataupun pengurangan rakaat dari shalat yang biasa saya lakukan. Bahkan wiridan yang mereka baca setelah shalat persis seperti wiridan yang biasa saya baca setiap selesai shalat. Saya lantas berfikir, mereka ini Wahhabi atau bukan? Atau, mungkin memang beginikah kaum Wahhabi shalat? Ah, saya tidak mau ambil pusing. Yang penting shalatku sah, sudah, tidak ada masalah.

Setelah selesai berdoa, saya lihat para siswa itu bersalaman pada lelaki setengah tua yang duduk di samping saya. Saya yakin lelaki itu adalah ustadz mereka. Mereka bersalaman satu persatu sambil mencium tangan lelaki tersebut. Setelah itu beberapa di antara mereka ada yang melakukan shalat sunnah Rawatib dan ada juga yang langsung keluar.

Selesai shalat jama’ah Dhuhur, saya kembali ke ruangan tempat teman-teman sedang beristirahat. Saya lihat mereka sedang asyik ngobrol, toh walaupun ada juga yang tertidur. Sepertinya dia sangat kelelahan, kasihan sekali. Saya pun ikutan nimbrung dalam pembicaraan mereka. Satu persatu mereka meninggalkan kami sehingga tersisa saya dan Luqman saja. Mereka ambil wudlu’ dan shalat Dhuhur berjama’ah bersama rombongan. Sementara saya dan Luqman asyik ngobrol tentang berbagai hal: dari hal yang terkait dengan kondisi Annuqayah hingga adik perempuannya yang kini sedang mondok di Latee II.

Perbincangan asyik dengan guide kami, Luqman Yasir
di dalam ruangan Masjid Al-Amaliyah

Setelah semuanya selesai shalat Dhuhur, kami pun siap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke puncak Cisarua.tiba-tiba ada seorang lelaki berjenggot panjang keluar dari pintu masjid yang menuju lantai dua dan bertanya dengan suara lantang pada kami,

“Sudah shalat semua??” tanyanya sambil menunjuk kami.

“Sudah, ustadz” jawabku dengan nada sesopan mungkin. Habis itu, lelaki tersebut berlalu dan keluar dari Masjid.

“Biasa, Jama’ah Tabligh” jelas Luqman. Mungkin dia menangkap ekspresi terkejut dari wajahku. Dan memang benar bahwa saya cukup terkejut mendengar ucapan lelaki tadi. Selain karena suaranya yang agak tinggi, di tempatku berasal jarangan sekali ada orang bertanya seperti itu di dalam masjid. Walaupun ada, biasanya hanya pertanyaan biasa yang tidak terkesan menegur. Lah, lelaki barusan? Suaranya lantang sekali dan terkesan sangat menegur seakan dia bilang begini, “Sudah shalat semua?? Kalau belum kenapa masih asyik ngobrol? Cepat pergi sana shalat!!”. Begitulah kira-kira. Haha