Langsung ke konten utama

Maghrib

Waktu saya masih kanak-kanak dulu, setelah adzan maghrib adalah waktu yang sangat sakral. Orang-orang semuanya pulang dari tempat kerja, anak-anak pulang dari tempat bermainnya. Biasanya waktu itu saya ada di surau dan belajar mengaji. Sementara para orang tua biasanya bediam di dalam rumah sambil dzikiran atau memanjatkan doa-doa. Tidak ada orang yang berkeliaran di jalan-jalan desa hingga adzan Isya' tiba.

Sejak sebelum adzan maghrib dikumandangkan, saya dan teman-teman sepermainan sudah berkumpul di halaman surau. Dan jika sempat, kami membersihkan surau bergotong-royong. Di masa kecil, kami terdidik dengan sangat baik walau kami tidak mengerti sepenuhnya untuk apa itu semua.

Kini keadaan sudah jauh berbeda. Tidak ada lagi waktu sakral setelah Maghrib. Semua waktu sama saja. Walau adzan Maghrib sudah berkumandang, masih banyak orang yang sibuk dengan urusan dunianya. Televisi di rumah-rumah tetap nyala. Hanya segelintir saja yang masih ingat pada Al-Qurannya. Rukuh dan sajadah di surau terlihat usang bukan karena terlalu sering dipakai, tapi karena merindukan sentuhan para hamba yang ingin bermunajat pada Tuhannya. Di lain pihak, banyak juga yang sibuk dengan ponselnya update status di jejaring sosial atau sms-an sama doinya. Lebih dari itu, ada juga yang keluar rumah untuk apel malam Minggu ke tempat-tempat hiburan.

Sebenarnya tidak ada perbedaan antara waktu Maghrib dan waktu lainnya. Itu hanyalah perbedaan posisi matahari dari sudut pandang bumi saja. Jadi bagi orang-orang yang cukup cerdas, mau waktu Maghrib atau waktu Isya' itu sama saja; tak ada yang istimewa. Namun bukan itu masalahnya, tapi lebih pada nilai yang terkandung dari sakralnya waktu Maghrib. Waktu maghrib menjadi penyeimbang antara siang dan malam dan menjadi penyeimbang antara urusan dunia dan akhirat. Jika bukan pada waktu Maghrib, lalu kapan orang akan bermunajat pada Tuhannya? Kapan dia akan menenangkan rohaninya?

Jadi, mari hidupkan kembali tradisi yang luhur ini