Masjid At-Ta'awun yang diselimuti kabut |
Bagian dalam Masjid At-Ta'awun dengan ornamen minimalis |
Sungai yang mengalir tepat di sebelah timur Masjid At-Ta'awun |
Saya dan teman-teman menghabiskan banyak waktu di halaman masjid sambil menunggu kedatangan Luqman yang katanya masih terjebak hujan di jalan. Udara dingin dan mendung yang menggelayut di atas kepala membuat saya menggigil. Sayang sekali bawaan kami sangat banyak sehingga kami tidak bisa pergi jalan-jalan mencari minuman hangat. Tapi, sebagian teman ada yang turun pergi ke warung, sementara saya dan beberapa orang menjaga tas ransel dan koper di halaman masjid. Tak lama kemudian gerimis turun membasahi tanah, kami bingung harus berteduh di mana. Untunglah di pojok halaman masjid ada tempat teduh yang cukup luas. Kami pun berteduh di sana sambil menunggu teman-teman yang pergi ke warung kembali membawa pengganjal perut. Di samping gerimis yang semakin deras menjadi hujan, angin yang bertiup juga semakin kencang. Kabut turun ke permukaan tanah dan menyelimuti gunung tempat kami berada. Jarak pandang kami mulai terbatas dan udara semakin dingin. Tapi bagi saya itu adalah pemandangan yang luar biasa. Di rumah, rasanya tidak mungkin saya akan diselimuti kabut setebal ini. Bagi saya ini adalah momen yang langka. Maka dari itu, tanpa berfikir panjang saya keluar dari tempat berteduh menembus kabut dan hujan untuk foto-foto. Begitu pula dengan teman-teman lainnya. Dasar maniak!! Haha.
Hingga Ashar tiba, Luqman belum juga tiba di masjid At-Ta’awun. Perut saya mulai krucuk-krucuk menahan lapar. Mau beli makanan ogah, harganya nggak bersahabat. Jadilah saya menahan derita kelaparan yang mendera-dera (lebay!!). Kami pun memutuskan untuk shalat Ashar dulu sambil menunggu kedatangan Luqman. Kami masuk ke dalam masjid dan mengambil wudlu’. Sekali lagi, saya dikejutkan oleh suhu air yang sangat-sangat dingin. Dengan gigi bergemeretak dan badan menggigil saya menunaikan shalat Ashar berjemaah. Setelah shalat Ashar saya langsung ke luar dari ruangan utama masjid dan menuju air terjun buatan yang terletak di sisi timur masjid. Teman-teman yang lain juga ke sana, dan sudah bisa ditebak apa yang kami lakukan di sana, yakkk… Foto-foto!!
Nyatanya, tidak hanya kami saja yang foto-foto di sana. Banyak juga wisatawan lain bernarsis ria, bahkan ada yang foto mesra-mesraan dengan pasangan mereka. Muda-mudi ber-couple-couple foto bersama belahan hatinya. Melihat mereka seperti itu, (sumpah) saya iri setengah mati! Andai saja saya sudah punya istri, saya nggak bakal kalah mesra sama mereka. Huh! Tapi, tunggu dulu! Ini, ini masjid, mas bro. Sejak kapan masjid berubah fungsi menjadi tempat mesra-mesraan? Oh tidak! Saya khilaf… Saya buang jauh-jauh pikiran untuk melampiaskan kekesalan saya pada muda-mudi itu dengan bermesraan bersama istri saya. Saya dan teman-teman hanya berkeliling mengitari masjid yang tidak terlalu luas itu (dan masih sambil foto-foto). Tidak sampai lima menitan, kami sudah berhasil melahap satu lap berputar mengelilingi masjid. Kecepatan yang tidak perlu dibanggakan. Akhirnya kami keluar lintasan dan kembali ke halaman masjid.
Tak lama kemudian orang yang kami tunggu-tunggu datang juga. Dia datang dalam keadaan basah kuyup kedinginan. Saya yang awalnya ingin mengumpat sepuasnya karena sudah dibuat menunggu lama jadi urung malah berbalik kasihan dan iba padanya. Kasihan sekali kau, Luqman! Maafin aku yah. Hiks hiks…
Yap, cukup dulu bersedihnya. Kini saatnya kami menyusun rencana. Bagaimana caranya tiba ke puncak yang susungguhnya dengan aman. Bukan karena kami akan bertemu banyak harimau di jalan atau harus menyeberangi buasnya lautan, tapi masalahnya adalah mau ditaruh di mana bawaan kami yang sangat banyak ini? Kami mencari tempat penitipan barang, tapi tidak ada satupun yang menerima. Adanya, hanya penitipan barang berupa helm atau sepatu saja. Tas? Koper? Ransel? Oh, itu bawaan yang terlalu berat untuk dibawa mendaki dan hanya akan menghambat perjalanan saja. Lama-lama kami dibuat stress juga gara-gara bawaan bejibun itu. Kami sempat berfikir untuk menuju puncak secara bergiliran dengan membagi rombongan menjadi dua kelompok. Satu kelompok bertugas menjaga bawaan dan kelompok yang lain menuju puncak. Tapi akhirnya rencana itu gagal karena dirasa akan menghabiskan banyak waktu. Mungkin karena melihat kami yang kebingungan dengan bawaan kami itu, Luqman menawarkan diri untuk menjaganya sementara kami bebas pegi ke puncak tanpa beban yang mengganggu. Aaakkhh.. Luqmaan, kau memang teman yang sangat baik dan mengerti kami. Saya terharu sekali, maafkan saya yang tak tahu diri ini.