Langsung ke konten utama

Menyikapi Bencana

Meletusnya gunung Kelud melahirkan banyak opini yang beragam. Ada yang melihatnya dari sisi geografi, sosial, dan religi. Yang menarik adalah opini bahwa meletusnya gunung Kelud merupakan teguran dari Tuhan kepada manusia yang sudah tidak lagi mengingatnya. Bahkan ada yang mengkaitkan waktu terjadinya letusan dengan ayat al-Quran, walaupun tentunya secara logika itu tidak masuk akal. Sebab waktu satu daerah dengan daerah lain tidak sama.

Terlepas dari hal itu, sebagai umat beragama, kita memang harus yakin bahwa tindakan Tuhan itu kadang tidak mengikuti hukum alam. Jika memang ini diyakini sebagai sebuah teguran, sudah merupakan keharusan bagi orang yang menyadarinya melakukan intropeksi diri terlebih dahulu sebelum mengintropeksi orang lain. Sebab "Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda (kekuasaanNya) bagi orang-orang yang befikir", yaitu orang-orang yang mau menyadari adanya teguran dalam setiap kejadian yang (utamanya) menyakitkan.

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak "befikir" alias tidak menyadarinya? Yang pertama harus dilakukan ialah berupaya menyadarinya, baik melalui orang lain maupun berusaha sendiri. Namun yang perlu diperhatikan, tidak seharusnya apa yang disadari seseorang (sebagai sebuah peringatan) dipaksakan kepada orang lain agar juga mempercayainya. Sebab kesadaran yang muncul dengan tulus dari hati nurani jauh lebih baik daripada kesadaran yang muncul karena cekokan informasi-informasi yang tersaji dari pemikiran orang lain.

Bicara soal peringatan, tidak hanya gunung meletus, banjir bandang, angin topan, dan bencana-bencana alam lainnya yang mendapat perhatian dan dikaji sedemikian dalam, bahkan terkadang melahirkan khurafat-khurafat baru. Menurut saya, peringatan yang tak kalah penting untuk juga dikaji adalah bencana sosial yang sedang menimpa negeri kita. Kenapa kita tak mampu terlepas dari krisis moral, pengangguran, kemiskinan, dan semacamnya? Bukankan itu adalah musibah yang tak kalah menakutkan daripada bencana alam?