Langsung ke konten utama

Kehilangan Kacamata di Masjid Jami' Sumenep

Sudah sejak 10 hari yang lalu kacamataku rusak. Framenya pecah dan tidak bisa dipakai. Selama itu pula aku memakai kacamata lamaku yang sudah tidak cocok dengan tingkat minus yang kuderita. Namun aku tetap bertahan dengan kacamata lama itu karena aku tidak bisa terlepas dari kacamata. Minus yang kuderita cukup tinggi sehingga kacamata menjadi kebutuhan vital bagiku.

Setelah idzin kepada orang tua, akupun berencara membeli kacamata yang baru. Singkat cerita, hari jumat tanggal 3 Januari 2014 aku pergi ke Sumenep untuk memperbaiki kacamataku yang rusak jika masih bisa diperbaiki, dan membeli yang baru jika sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Sekitar jam 08.30 aku sudah tiba di Sumenep dan akupun langsung menuju Pratama Optik tempat aku biasa membeli kacamata. Optik itu kecil, tapi pelayanannya cukup memuaskan dan harganya (menurutku) seimbang. Sampai di sana, aku bilang pada penjaganya bahwa aku pengen memperbaiki kacamata dan kusodorkan kacamataku yang rusak.

“Waaah, ini tidak bisa diperbaiki, Mas. Klo yang rusak cuma nuse pad-nya masih bisa, tapi ini framenya juga rusak dan tidak bisa pake lem besi. Tidak akan kuat” jelasnya kepadaku

“Oh gitu, ya Mas?” aku sedikit kecewa mendengar jawabannya. “Klo begitu aku beli yang baru saja, Mas”.

“Oh ya, silakan pilih mau yang mana?” dia mempersilakanku untuk menentukan pilihan frame yang mana yang aku suka.

Setelah lama melihat-lihat dan mempertimbangkan akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada frame merek Hammer buatan Korea. Habis itu aku periksa tingkat minusku. Ternyata hasilnya tidak berubah dari hasil tes dua tahun yang lalu. Mata kanan minus 4 dan mata kiri minus 4 cylinder 0,5. Setelah aku memilih lensa, ternyata lensa pilihanku stoknya belum ada dan masih harus pesan ke Surabaya. Jadi aku harus menunggu sekitar lima hari hingga pesananku itu tiba. Artinya, aku masih harus bertahan dengan kacamataku yang lama.

Setelah aku membayar DP sebesar 250 ribu rupiah dari 600 ribu rupiah harga kacamata, aku pun keluar dari optik dan pergi ke masjid Jami’ Sumenep untuk shalat Jumat. Setelah tiba di masjid Jami’ Sumenep, aku cuci muka di tempat wudlu’ yang baru selesai dibangun. Tempat wudlu’ itu berbentuk tiang yang melingkar cukup besar yang di sisi-sisinya terdapat kran tempat mengambil wudlu’ dan terletak di sisi utara Masjid. Lantainya dipenuhi air yang berfungsi sebagai pencuci kaki sebelum masuk ke dalam masjid. Sialnya bagiku, sehabis mengambil cuci muka dan ambil wudlu’ aku lupa membawa kacamataku dan baru sadar setelah aku selesai melaksanakan shalat sunnah Tahiyyatal Masjid. Ketika aku sadar kacamataku tertinggal di tempat wudlu’, aku langsung kembali ke sana untuk mengambilnya. Tapi sayang, kacamataku sudah tidak ada lagi ditempat aku menaruhnya tadi.

Aku panik. Aku tidak bisa mencari barang hilang tanpa bantuan kacamata, dan kini kacamata itulah yang hilang. Aku lihat beberapa kali tempat aku meletakkan kacamataku barusan untuk memastikan, tapi kacamataku memang benar-benar tidak ada di sana.

Akhirya aku kembali ke dalam masjid karena sebentar lagi shalat Jumat akan dimulai. Selama melaksanakan Shalat Jumat, aku tidak bisa khusu’ pada bacaan shalatku, sebab masih kepikiran pada kacamataku yang hilang. Masak aku harus kehilangan kacamata yang sangat penting itu bagiku? Kacamata yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dariku itu, akankah kutinggalkan di tempat yang asing ini? Oh, rasanya aku tidak rela meninggalkannya begitu saja. Tapi aku bingung harus kucari kemana kacamataku itu. Aku tidak tahu siapa yang mengambil kacamataku. Masjid ini jama’ahnya tidak hanya masyarakat yang hidup di sekitar masjid, tapi bisa dari mana saja karena ini adalah masjid yang berada di tengah kota yang didatangi banyak orang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Aku tidak punya harapan sama sekali kacamataku akan kembali padaku, tapi aku tetap tidak rela kacamata itu hilang di sini.

Di saat pikiranku sedang galau-galaunya, hujan turun deras menambah gerah suasana hatiku. Aku kian tak tenang dan merasa gelisah. Hal itu berlangsung hingga shalat jumat selesai. aku Masih kacau dan bingung. Aku sangat membutuhkan kacamata, dan kacamata itu adalah satu-satunya kacamata yang kumiliki saat ini. Akhirnya kuputuskan untuk mendatangi takmir masjid untuk mengadukan masalahku itu.

“Hilangnya kapan, Mas?” tanya takmir masjid itu setelah mendengar pengaduanku.

“Barusan sebelum Jumat, Pak” jawabku pada takmir masjid setengah baya itu.

“Sampeyan tunggu saja di tempat penghitungan uang infa di sebelah selatan masjid. Jika yang mengambil kacamatamu itu orang jujur, biasanya dia akan menyerahkannya pada kami. Tapi jika orang yang menemukannya kurang jujur, yaa kami tidak bisa bantu apa-apa, Mas” jelasnya padaku. Kata-katanya memberiku sedikit harapan bahwa kacamataku akan kembali.

Setelah itu aku pun pergi ke tempat penghitungan uang infaq yang ditunjuk takmir tadi. Tempat itu ternyata adalah ruangan terbuka yang cukup luas, sekitar 8-9 meter persegi dan terletak tepat di depat kantor sekretariat takmir masjid Jami’ Sumenep.

Aku duduk di dalam ruangan itu dan melihat beberapa takmir menggotong kotak-kotak amal ke dalam ruangan. Kotak-kota itu ukurannya beragam, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Sekitar 15 menit kemudian semua kotak amal sudah terkumpul dan tinggal membuka dan menghitung isinya. Saat itu sudah berkumpul beberapa orang pria yang sudah siap menghitungnya. Kotak itupun dibuka oleh juru kuncinya. Isinya dikeluarkan semua, dari kotak yang paling besar hingga kotak yang paling kecil. Aku hanya diam melihat mereka sibuk menghitung uang dalam jumlah besar itu. Ternyata walaupun itu sebatas sumbangan suka rela, hasilnya tidaklah sedikit. Kulihat uang recehannya saja tidak kurang dari 100 ribu rupiah. Uang kertas dipisah dari uang recehan dan dikelompokkan berdasarkan pecahannya. Uang kertas pecahan 2.000-an kulihat bertumpuk sangat banyak dan kutaksir jumlahnya tidak kurang dari 500 ribu rupiah. Aku salut dengan tingkat pendapatan itu!

“Ini mas, kopi” tiba-tiba ada seorang laki-laki menawarkan kopi padaku. Dia adalah salah satu takmir yang bertugas menyediakan konsumsi untuk para penghitung uang itu. Aku hanya mengangguk dan berterimakasih. Padahal aslinya menggerundel di dalam hati “Makasih, Mas, tapi bukan kopi yang kuinginkan, melainkan kacamataku yang hilang”. Namun aku cukup tahu diri untuk tidak mengatakannya terang-terangan. Aku bisa berfikir begitu karena saking galaunya pikiranku kehilangan kacamata yang sangat berharga.

Sudah lebih setengah jam aku menunggu adanya seorang dermawan nan baik hati mengantarkan kacamata yang dia temukan di tempat wudlu’ ke takmir masjid. Tapi rupanya dermawan itu tidak kunjung tiba. Namun aku tetap bertahan menunggunya, sebab toh walaupun aku tidak menunggu hujan yang turun sejak tadi masih belum juga reda, jadi aku tidak bisa ke mana-mana.

Namun kesabaranku kian lama kian menipis. Aku mulai putus asa, ditambah hujan kini sudah reda berganti rintik yang tidak terlalu deras. Kini hilang sudah kesabaranku untuk menunggu kacamataku kembali. Pupus sudah harapanku untuk pulang dengan kacamata darurat itu. Aku harus menanggung derita penglihatan kabur hingga kacamataku yang baru jadi. Dan itu berarti bahwa aku tidak bisa membaca, tidak bisa bekerja di depan komputer, tidak bisa mengenali teman-teman dalam jarak tertentu. Oh tidak, itu adalah sebuah penderitaan bagiku, sungguh menyedihkan.

“Sudahlah, Pak, sepertinya kacamataku memang benar-benar hilang” kataku putus asa pada takmir yang barusan menyuruhku untuk menunggu di ruangan itu. Dia terlihat kasihan sekali padaku. Tapi dia juga tidak tahu harus melakukan apa. Jama’ah masjid jumlahnya terlalu banyak dan datang dari berbagai tempat, bahkan dari tempat yang jauh. Untuk menanyakannya satu persatu adalah hal yang mustahil dilakukan. Apalagi yang hilang cuma kacamata yang tidak ada artinya bagi orang yang tidak minus.

Hanya orang-orang bermata minus yang tahu betapa berharganya kacamata.

“Ya sudah, Mas, maaf tidak bisa bantu banyak” katanya menyesal

“Nggak apa-apa, Pak. Tapi aku boleh minta tolong kan, Pak?” tanyaku padanya

“Minta tolong apa, Mas?” tanyanya padaku

“Ntar klo misalnya ada orang menyerahkan kacamata itu pada takmir masjid, tolong kasih tahu saya, ya Pak” pintaku padanya. Aku pun menanyakan nomor hp orang itu untuk aku catat.

“Maaf, Mas. Saya tidak pegang hp. Oh ya, pake nomor hp orang yang itu saja” katanya sambil menunjuk pada takmir lain yang masih sibuk mengumpulkan semua uang yang sudah dihitung barusan. Akupun menghampirinya

“Pak, bisa minta tolong?” sapaku

“Iya?” dia menoleh sambil mengernyitkan keningnya.

“Barusan aku kehilangan kacamata di tempat wudlu’. Saya minta tolong klo misalnya nanti...” belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba laki-laki yang usianya masih muda itu memotong

“Oh kacamata toh? Ya ada, ada. Barusan saya yang mengamankannya” katanya

“Apa? Jadi Bapak yang menyimpankannya? Sekarang masih ada, Pak?” aku kegirangan bukan main

“Ya, ada padaku. Kenapa nggak bilang dari to, Mas. Haha.. Sebentar saya ambilkan” katanya lagi. Setelah itu dia langsung masuk ke kantor sekretariat takmir masjid. Beberapa saat kemudian dia keluar membawa kacamata di tangannya.

“Ini kan?” tanyanya padaku. Kulihat kacamata itu dengan seksama.

“Benar, Pak. Benar, Pak!” aku girang sekali dan tersenyum lebar. Kacamataku masih dalam kondisi utuh seperti sedia kala. Berkali-kali aku mengucapkan terimakasih pada lelaki itu dan takmir setengah baya yang menyuruhku untuk menunggu tadi. Aku benar-benar bersyukur karena kacamataku tidak jadi hilang. Sebagai wujud syukurku padaNya, sebelum meninggalkan masjid aku menyempatkan diri memasukkan uang pecahan 5 ribu rupiah ke dalam kotak amal masjid Jami’ Sumenep. Sebenarnya aku merasa itu jumlah yang sangat kecil dibanding kebahagiaan yang kurasakan karena kacamataku tidak jadi hilang, namun aku tidak punya uang lebih. Aku masih harus ke counter hp untuk membelikan silikon Nokia X1 01 pesanan Pak Khaliq dan pergi ke toko Spectra untuk mengambil brosur daftar harga laptop. Brosur itu akan aku berikan pada Kak Ali Makki, soalnya dia mau beli laptop yang baru. Selain itu, aku masih harus pulang ke Guluk-Guluk. Aku takut uangku tidak cukup.

Namun bagaimanapun, aku sangat bersyukur pada Yang Kuasa. Walau sedikit menjengkelkan, kejadian itu memberiku pengalaman baru. Setidaknya itu sebagai pelajaran agar aku lebih hati-hati dan tidak mudah lupa. Selain itu, aku juga mendapatkan pengalaman melihat takmir masjid Jami’ Sumenep menghitung uang infaq. Jika saja kacamataku tidak hilang, mungkin aku tidak akan pernah tahu bagaimana mereka menghitung uang infaq setiap habis shalat Jumat. Mungkin juga aku tidak akan pernah tahu di mana letak kantor sekretariat masji Jami’ Sumenep.