Langsung ke konten utama

Kehilangan Kasih Sayang

Pedagang asongan yang menginspirasi tulisan ini
Saya patut bersyukur pada Tuhan karena sebagai manusia saya memiliki hati yang masih berfungsi. Hati adalah unsur terpenting manusia sebagai makhluk Tuhan yang bertugas sebagai khalifah di atas muka bumi. Tugas seorang khalifah adalah untuk mengatur dan mengelola bumi agar bisa mejadi tempat yang nyaman untuk hidup semua makhlukNya. Sebagai khalifah di bumi, saya harus memiliki kepekaan yang bagus dalam membaca fenomena-fenomena sekitar yang tidak bisa ditangkap dengan panca indra, sebab panca indra memiliki banyak keterbatasan.

Satu hal yang sangat saya syukuri dari fungsi hati adalah perasaan iba dan kasihan yang sering saya rasakan saat dihadapkan pada kenyataan yang membuat menyedihkan. Hati saya mudah tersentuh, sangat sensitif, walau aslinya saya bukan tipe orang yang suka menangis. Saya suka tidak tega melihat makhluk lain, lebih-lebih sesama manusia mengalami kondisi yang lebih buruk daripada saya. Setiap kali melihat orang susah, saya selalu ikut merasakan kesusahan yang dia rasakan. Ketika melihat orang sedih, dengan mudah hati saya terenyuh dan ikut sedih.

Waktu saya masih kelas IV Madrasah Ibtidaiyah, saat pulang sekolah biasanya saya bertemu dengan seorang pemuda penjual pentol yang usianya kira-kira 5 tahun lebih tua dari saya. Pemuda itu berjalan menuntun sepeda yang di bagian belakangnya terdapat dua kotak agak besar di sisi kanan dan kirinya. Satu kotak berisi "sobluk" dan yang lain berisi tabung gas. Di atas tabung gas ada rak khusus yang berisi wadah-wadah berwarna putih, yaitu wadah garam "klotoran" yang difungsikan menjadi wadah sambal tomat pasangan pentol yang senantiasa dia jaga agar tetap panas di dalam sobluk pada kotak yang lain. Tiap kali saya berpapasan dengan pemuda itu, muncul rasa iba dan kasihan melihatnya. Dalam usia semuda itu dia sudah harus berjalan di bawah terik matahari berjualan pentol menelusuri jalan-jalan desa yang berdebu.

Pemuda itu sangat pendiam, bahkan dari saking pendiamnya dia tidak pernah menjajakan barang jualannya pada orang yang dia lewati. Sebagai gantinya, dia membunyikan "klakson" pencet yang mengeluarkan suara khas "not ne not" di tangannya. Jika ada orang memanggilnya karena berminat pada pentol yang dia jual, dia akan menghampiri orang itu dan mempersilakannya mengambil pentol sendiri dari sobluk, sementara dia sendiri membukakan tutup kotak sambalnya.

Saya tidak tahu dari mana pemuda itu berasal, saya juga tidak tahu berapa kilometer jarak yang dia tempuh setiap hari untuk berjualan pentol, dan saya tidak tahu kondisi apa yang membuatnya harus bekerja di usia semuda itu. Namun yang pasti saya hanya merasa kasihan dan iba pada pemuda malang itu. Makanya setiap kali saya bertemu dia di jalan, saya pasti membeli pentolnya walaupun sebenarnya saya tidak sedang berselera makan pentol.

Sering sekali saya membali pentol darinya. sudah tidak terhitung berapa kali saya memberikan recehan 500 perak dan mendapat limi biji pentol darinya; tanpa sapa tanpa kata-kata, bahkan walau hanya untuk sekedar bertanya “siapa nama kamu?” dan “dari mana kamu berasal?”.

Kisah lain, setiap hari rabu ada pedagang sayur-sayuran lewat di halaman depan rumahku. Pedagang sayur itu adalah seorang wanita paruh baya yang kemudian aku tahu berasal dari Duko, desa yang letaknya 15 kilometer di timur desaku. Dia membawa sayuran yang dia jual dengan sebuah bak besar berwarna hitam di atas kepala. “Wanita yang sangat kuat!” decakku kagum melihatnya membawa bak dengan muatan yang melebihi kapasitas itu di atas kepala sambil jalan kaki.

Apabila wanita penjual sayur itu sedang lewat di depan rumahku, biasanya ibu atau nenekku memanggilnya untuk membeli sayur jika kebetulan persedian sayur di dapur sudah habis. Atau kalau tidak, wanita penjual sayur itu menjajakan sayur jualannya dengan setengah berteriak "Melleyah tarnya’, Buk?!!". Suaranya cukup lantang hingga terdengar ke dapur yang terletak di bagian belakang rumah, padahal dia teriaknya di halaman depan rumah.

Terkadang, walaupun saya tidak suka makan sayur atau tahu, saya tetap ngeyel minta dibelikan pada ibu atau nenek. Mereka pun memanggil penjual sayur itu. Kemudian dia datang menghampiri dan minta "juma'eh" pada saya untuk menurunkan jualannya dari atas kepala. Saya bergegas membantunya dan ternyata memang bak yang ada di atas kepalanya tidaklah ringan. Sekali lagi saya dibuat takjub oleh kekuatan wanita itu. Lalu penjual sayuran itu duduk di teras rumahku yang teduh sambil mengelap keringat yang mengucur di dahi dan pelipisnya. Saya memandanginya dengan heran, bagaimana bisa dia bertahan dengan pekerjaannya ini? Kenapa tidak membuka warung saja, atau kios di pasar? Kerjanya lebih ringan dan tidak usah keliling-keliling desa membawa beban jualan di atas kepala, dan hasilnya pun tidak jauh berbeda.

Ternyata di balik ketangguhannya yang luar biasa untuk ukuran wanita, dia memiliki nasib yang kurang beruntung secara ekonomi karena harus berjalan jauh menempuh jalan-jalan desa yang berbatu. Hal itu membuat saya merasa iba padanya karena tak jarang panas-panas dia berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain menjajakan daganganya. Kadang dia terpaksa berteduh di teras depan rumah jika turun hujan. Dia tetap bertahan dengan pekerjaan itu walau saya yakin hasilnya tidak seberapa, sama sekali tidak setimpal dengan rasa lelah dan letih yang dia dapat.

Tidak hanya pemuda penjual pentol dan wanita penjual sayuran, tapi juga penjaja es Wawan yang sering saya temui di jalan atau lewat di depan rumah. Waktu di pondok, ada juga seorang nenek tua penjual kecambah yang selalu duduk di depan bilikku. Dia menunggu adanya pembeli yang berminat pada jualannya, kecambah yang dicampur dengan parutan kelapa yang menurutku sangat nikmat dimakan dengan kerupuk dan cabe. Selain itu, ada juga penjual buah siwalan yang selalu berkutat sibuk menghalau lalat-lalat yang mengkerumuni jualannya. Walaupun saya tidak suka buah siwalan, pada akhirnya saya membelinya karena kasihan pada penjual itu, hanya karena kasihan. Bahkan waktu kecil saya pernah tidur dengan seekor kucing malang yang sakit di ruang tamu beralaskan tikar daun siwalan. Beberapa hari kemudian kucing itu mati, saya menangis meratapi kepergiannya, sebab dia adalah teman bermainku yang baik. Saya pun menggalikan kuburan buat menguburnya dan membuatkan batu nisan bertulisan nama kucing itu, Susi. Hanya saja saya tidak sampai memandikan dan menshalatinya, sebab waktu itu saya belum tahu bahwa orang mati harus dimandikan dan dishalati.

Nah, orang-orang seperti mereka (termasuk kucing dan segala jenis hewan yang bernasib malang lainnya) selalu berhasil meluluhkan hatiku. Saya sangat tidak suka orang-orang yang suka bersikap kasar pada mereka, sungguh benci!. Entah apa mereka merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan atau hanya saya saja yang terlalu berlebihan kasihan mereka, saya tidak tahu.

Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai merasa dirugikan karena rasa kasihan yang berlebihan ini. Saya kira ini adalah kelemahan yang ada pada diri saya. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab terkadang saya meminjam uang kepada orang hanya demi memberikan pinjaman uang pada orang lain yang sedang membutuhkan. Dan jika orang yang meminjam uang itu tidak mengembalikan uang yang dia pinjam, maka sayalah yang harus melunasinya. Saya tidak bisa menagih atau memaksanya untuk membayar hutangnya pada saya, meskipun saya tahu bahwa membayar hutang itu adalah kewajiban. Terkadang juga hanya karena kasihan, saya membeli sesuatu yang sama sekali tidak saya inginkan. Hanya karena kasihan. Sekali lagi hanya karena kasihan. Saya mulai merasa dirugikan oleh perasaan saya sendiri. Jika hanya sekali dua kali saja mungkin tidak akan jadi masalah, tapi kalau berkali-kali, bisa-bisa sayalah yang bangkrut.
Untuk itu kemudian saya mulai belajar untuk membunuh perasaan ini. Saya mulai belajar untuk menjadi orang yang tega, mengabaikan rasa kasihan dan iba yang selalu muncul di hati. Saya tidak mau selalu berkorban untuk orang lain dan menjadi pihak yang selalu dirugikan oleh diri saya sendiri karena kalah pada rasa kasihan. Sedikit demi sedikit perasaan iba dan kasihan berlebihan yang menjadi kelemahan saya itupun mulai bisa saya kendalikan. Saya mulai terbiasa melihat orang-orang melarat. Saya mulai terbiasa mengabaikan para pemulung sampah, penjaja makanan di terminal-terminal, penjual buah siwalan, penjual gorengan yang selalu duduk di teras pondok dan manusia-manusia melarat lainnya.
Melihat orang lain susah, dulunya adalah pemandangan yang sangat memilukan bagi saya, tapi kini sudah tidak lagi, malahan terasa biasa-biasa saja. Jika kebetulan melihat pemulung sampah berkeliling mengais tempat-tempat sampah pada jam dua dini hari, saya hanya berkata dalam hati "Ah, biarkan saja. Itu urusan dia mau hidup kayak apa. Aku tidak mau ikut campur". Tatkala melihat pengemis yang duduk bersimpuh di jembatan gantung sambil menengadahkan kaleng susu di tengah malam, saya hanya melihat sekilas dan berlalu begitu saja. Mujur kalau ada uang recehan 500 perak di kantong, tentunya kaleng itu akan terisi walau sedikit. Tapi untuk merogoh isi dompet atau tas gendong rasanya malas sekali. Seingat saya, nominal terbesar yang pernah saya berikan pada pengemis hanya 5000 rupiah, tidak pernah lebih.

Cukup lama saya belajar untuk menjadi orang yang tega dan cuek dengan urusan orang lain, dan hal itu ternyata berhasil. Namun saat itu sudah berhasil, saya malah merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam diri saya. Belajar cuek dan tidak peduli yang telah saya lakukan untuk menghilangkan rasa iba dan kasihan berlebihan itu ternyata tidak dapat berhenti. Saya betul-betul menjadi cuek beneran, tidak hanya ketika melihat orang yang susah, tapi juga cuek pada segalanya, bahkan cuek pada diri saya sendiri. Rasanya tidak tersisa lagi perasaan iba di dalam hati saya, yang ada hanyalah ketidak pedulian. Saya menjadi orang yang mati rasa dan buta terhadap kondisi dan nasib sesama. Tak ada lagi rasa kasihan, tak ada lagi rasa iba yang dulu pernah saya punya.

Saya merasa telah menghilangkan sesuatu yang sangat berharga dari dalam diri saya. Rasa kasihan dan iba, perasaan sensitif dan hati yang mudah terenyuh, pengorbanan dan tenggang rasa, semua buyar entah kemana. Semua rasa itu bersumber dari kasih sayang yang merupakan fitrah manusia, kasih sayang terhadap sesama manusia dan kasih sayang terhadap makhluk Tuhan lainnya. Dalam arti lain saya sudah kehilangan sebagian kasih sayang yang saya punya. Saya mulai menyesal dan mengumpat diri sendiri “Dasar kau, Faruq! Kenapa dulu kau belajar cuek dan tidak peduli hanya agar tidak merasa dirugikan? Kini saat kau benar-benar cuek, baru kau tahu rasa!”.

Jadi saat ini, yang saya lakukan adalah melatih kembali kepekaan perasaan yang sudah tumpul. Saya berusaha untuk memiliki kasih sayang yang besar pada sesama. Saya belajar untuk menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu manusia yang hari nuraninya tidak tertutup oleh kegelapan nafsu angkara. Saya mulai memupuk kembali agar hati saya berfungsi sempurna dan tumbuh menjadi pelita yang selalu membimbing saya ke jalan yang diridhai Tuhan, tidak seperti hewan yang sama sekali tidak punya perasaan kecuali insting hewani mereka.

Jadi, bersyukurlah jika hati masih berfungsi! Jagalah agar tetap lunak, jagalah jangan sampai menjadi keras seperti batu!