Langsung ke konten utama

Enam Jam bersama Taufiq Ismail

Jam menunjukkan pukul 04:15. Pagi itu saya terburu-buru pergi ke atas bukit kecil yang biasa menjadi tempat bermain para santri di waktu sore dan pagi. Tapi pagi itu, suasana di sana masih sepi. Saya memang sengaja pergi lebih pagi karena ada sesuatu yang harus saya lakukan di bukit yang memiliki nilai sejarah tersendiri di hati tiap santri itu. Pagi itu saya harus latihan membaca puisi, dalam bahasa Arab; terjemahan dari puisi Taufiq Ismail, penyair paling senior yang masih hidup di Indonesia saat ini. Soalnya nanti jam 09.00 akan ada acara peluncuran buku kumpulan puisi dwi-bahasa Pak Taufiq yang berjudul “Turâb Fawq al-Turâb, Debu di atas Debu”. Dalam acara tersebut akan ada pembacaan puisi-puisi beliau dalam dua bahasa, Indonesia dan Arab. Nah, saya adalah salah seorang yang kebagian tugas membacakan puisinya dalam bahasa Arab.

Ada delapan judul puisi yang akan dibacakan pada acara tersebut, dan empat orang perwakilan Annuqayah yang akan membacakan puisi-puisi tersebut dalam versi Arabnya. Mereka adalah Moh. Herliano, Moh. Luthfi, Munaji, dan saya sendiri. Kami mendapat kepercayaan dari Ra Ubaidillah Tsabit, pengatur tata letak buku Turâb Fawq at-Turâb, untuk membacakannya. Delapan puisi tersebut adalah: Pidato Terakhir di Jabal Rahmah (Khutbat al-Wadâ’ fî Jabal al-Rahmah), Ya Rasul (Ya Rasuul), Di Depan Multazam (Amâmal Multazam), Sembilan Pertanyaan Cucu Kiyai pada Kakeknya (Tis`atu As’ilatin min Hafîd al-Syaikh), Sajadah Panjang (Sajjâdatun Mumtaddah), Aku Impikan Sebuah Masjid (Ahlamu Biwujûdi Masjid), Anakku Bertanya Tentang Rasul (Ibnî Yas’alu `an al-Rasûl), dan Celupkan Jarimu ke Air Lautan (Ighmis Ushbu`aka fî Miyâhil Bahr).

Saya mendapat tugas membacakan dua puisi yang berjudul Sembilan Pertanyaan Cucu Kiyai untuk Kakeknya dan Celupkan Jarimu ke Air Lautan. Pada malam sebelum acara ini diselenggarakan, kami sudah mendapatkan arahan dari K. M. Faizi dan K. Ubaidillah, jadi bisa dibilang (untuk saya sendiri) sudah cukup siap membacakan puisi-puisi tersebut. Tapi tetap saja ada rasa gugup dan khawatir, sebab saya bukanlah anak sanggar atau perkumpulan komunitas penyair. Saya baru merasakan sedikit adanya percaya diri dalam diri saya karena saya pernah aktif di komunitas kepenulisan RSB dan memiliki banyak teman penyair. Saya cukup sering melihat mereka membaca puisi walau tidak pernah membaca puisi bersama mereka. Saya juga pernah mengikuti acara deklamasi puisi di acara FTB al-Amien tahun 2007 dulu yang dihadiri oleh beberapa penyair nasional dan beberapa kali melihat lomba baca puisi bahasa Arab. Selain itu, saya juga cukup sering melihat dan mendengar pembacaan puisi penyair-penyair besar sekelas Gus Mus, Zawawi Imron dan WS Rendra. Jadi berbekal pengetahuan dan secuil pengalaman itu saya beranikan diri untuk membacakan puisi penyair senior Taufiq Ismail di depan beliau sendiri.

Sekitar jam 09.00 rombongan pak Taufiq tiba di kampus INSTIKA. Selain pak Taufiq, di dalam rombongan itu juga ada Bu Ati Ismail (istri Pak Taufiq) Jamal D Rahman (anggota redaksi majalah sastra Horison), Linda Djalil (penulis buku Cintaku Lewat Kripik Balado (kumpulan puisi jurnalistik)), Sastri Sunarti Sweeney (ketua redaksi majalah sastra Horison), Prof. Dr. Sangidu, M.Hum (Guru besar sastra Arab UGM) dan beberapa orang lainnya yang tidak sempat saya catat namanya.

Setelah rombongan istirahat sejenak di ruang rektorat, mereka pun dipersilakan ke aula As-Syarqawi karena acara segera dimulai. Saat itulah aku tahu ada perubahan pada daftar puisi yang akan dibacakan. Dari delapan puisi menjadi enam puisi saja dengan membuang tiga puisi dan menambah satu puisi baru. Judul puisi yang gagal dibacakan adalah Khutbah Terakhir di Jabal Rahmah, Ya Rasul, dan Aku Impikan Sebuah Masjid. Sementara puisi baru yang ditambahkan berjudul yerussalem. Setelah melalui berbagai pertimbangan, terpaksa puisi Yerussalem itu saya yang harus bacakan.

Sebelum acara dimulai, kami yang akan membacakan puisi pak Taufiq dalam bahasa Arabnya menyempatkan diri minta pengarahan dari beliau. Kolaborasi pembacaan puisi dwi-bahasa ini rencananya ialah: “Sajadah Panjang” akan dibacakan oleh Jamal D Rahman dan Moh. Luthfi, “Anakku Bertanya Tetang Rasul” akan dibacakan oleh Linda Djalil dan Moh. Luthfi, “Sembilan Pertanyaan Cucu Kiyai pada Kakeknya” akan dibacakan Jamal D Rahman dan saya sendiri, “Yerussalem” akan dibacakan oleh Sastri Sunarti Sweeney berkolaborasi dengan saya, “Celupkan Jarimu ke Air lautan” akan dibacakan Pak Sangidu dan Munaji, sementara Pak Taufiq akan membacakan puisi berjudul “Di Depan Multazam” bersama Herlianto.

Acara peluncuran buku Turâb Fawq at-Turâb ini berlangsung selama empat jam. Diawali dengan pembukaan dan lantunan ayat-ayat suci al-Quran oleh M. Farid. Setelah itu dilanjutkan dengan sambutan dan diskusi. Acara diskusi inilah yang memakan waktu cukup lama, hampir tiga jam. Dalam diskusi tersebut, Jamal D Rahman bertindak sebagai moderator, Pak Taufiq, Pak Sangidu, Bu Sastri dan K. Ubaidillah Tsabit menjadi nara sumbernya.

Selama berlangsungnya acara diskusi, kami tidak terlalu banyak mendengarkan pemaparan para penyaji karena sibuk mempersiapkan diri untuk pembacaan puisi nanti. Kami menggunakan ruangan di belakang panggung untuk membaca ulang dan (khusus saya) menghafal puisi-puisi itu. Di samping itu (khusus saya lagi) juga harus berkonsultasi dengan K. Ubaid tentang bacaan dan arti dari beberapa kata yang menurutku tidak biasa. Jadilah acara tersebut tidak bisa kuikuti dengan maksimal. Hanya sesekali saja saya mendengarkan pemaparan para penyaji itu, yang di antaranya berbicara tentang kisah kreatif Pak Taufik Ismail menjadi seorang penyair dan beberapa kritikan dari peserta terhadap terjemahan Arabnya yang dirasa kurang pas.

Setelah diskusi selesai, acara pembacaan puisi pun dimulai. Saya dan teman-teman yang bertugas membacakan puisi dipersilahkan maju ke depan, duduk bersama Pak Taufiq Ismail. Bagi saya sendiri itu adalah momen yang sangat bersejarah dalam hidup saya. Waktu itulah saya bisa duduk bersama Pak Taufiq, penyair kenamaan Indonesia, penyair besar yang telah memberikan sumbangsih tak terkira di dunia sastra. Sungguh tak pernah terbayangkan dalam hidup saya bahwa saya akan duduk bersama penyair senior bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah ini. Dan sebentar lagi, saya akan membacakan syair-syairnya di depan beliau sendiri. Subhanallah! Sungguh keberuntungan yang tidak pernah terbersit di hatiku dulu. Waktu itu tak ada bahasa yang bisa kuutarakan untuk menggambarkan kebahagian yang kurasakan, sebab sangat langka ada orang yang bisa duduk bersama beliau kecuali orang-orang terdekat atau orang-orang yang luar biasa. Sementara saya? Saya sama sekali tidak termasuk dalam kategori orang-orang seperti itu. Alhamdulillah! Hanya puji syukur kuhaturkan untuk Yang Kuasa karena telah mempertemukan saya dengan beliau, bahkan hingga bisa duduk bersama di satu kursi.

Ketika tiba waktunya, saya bersama Jamal D Rahman membacakan puisi Pak Taufiq yang berjudul “Sembilan Pertanyaan Cucu Kiyai Untuk Kakeknya”. Pak Jamal membaca aslinya yang berbahasa Indonesia, sementara saya membaca puisi itu dalam versi bahasa Arabnya. Bait demi bait kami baca bergantian. Sesekali kudengar ada penonton yang bertepuk tangan dan tertawa. Hingga tiba di akhir syair “Wahai cucuku yang cerdas sekali, masalah ini kau tanyakan sendiri, pada Tuhan di sorga nanti”, “Yaa hafîdiy al-Dzakiy, Is’al Rabbaka Mubâsyarah, `an Hâdzal Amri fî al-Jannah”. Tepuk tangan dari para penonton pun bergemuruh. Tapi bukan itu yang membuat saya senang tak terkira.

Tiba-tiba, sehabis saya membacakan puisi tersebut, Pak Taufiq menjulurkan tangannya pada saya. Beliau menjabat tangan saya, dan “Bagus!” kata beliau. Ini mimpi! Ini mimpi! Tapi, ini nyata, bukan mimpi! Subhanallah! Saya dipuji penyair besar. Alhamdulillah!

Selanjutnya, tiba saatnya saya membacakan puisi berjudul “Yerussalem” dengan Bu Sastri. Tapi berhubung Bu Sastri tidak bisa—dia masuk angin dan muntah-muntah, jadi terpaksa harus istirahat di ndalemnya K. Abd. Warits—, maka dia digantikan Bu Linda Djalil. Bu Linda membaca puisi ini dengan suara pelan perlahan mendayu-dayu. Saya mengimbangi nada Bu Linda dan memelankan suaraku juga. Tiba-tiba, di bai terakhir Bu Linda mengangkat suaranya tinggi melengking. Saya pun ikut berteriak dengan suara serak. “Yerussalem, Yerussalem..!!!”, “Al-Quds, Al-Quds..!!!”. Dan selesailah pembacaan puisi Yerussalem diiringi tepuk tangan para penonton

Acara pembacaan puisi diparipurnai dengan pemberian cinderamata dari INSTIKA untuk Pak Taufiq Ismail. Cinderamata itu berupa sebuah bingkisan berbalut hiasan keperakan yang entah berisi apa, dan selembar kain batik yang merupakan interpretasi dari puisi pak Taufik Ismail “Adakah Suara Cemara” dalam bentuk lukisan. Puisi tersebut adalah puisi Pak Taufiq yang diperuntukkan istri tercinta, Bu Ati Ismail.

Setelah pemberian cinderamata, K. Zamil El-Muttaqien membacakan puisi berjudul “Adakah Suara Cemara” tersebut di hadapan Pak Taufiq dan Bu Ati. Diikuti kemudian oleh K. Ubaid yang membacakan puisi tersebut dalam versi Arabnya. Saat puisi itu dibacakan di hadapan mereka, seakan masa muda mereka kembali terasa. Romantisme terlahir kembali, suasana penuh cinta dan kasih sayang yang tak pernah sirna kini disiram lagi dengan air “Adakah Suara Cemara?”. Begitu hijau, begitu permai! Indahnya!
Bahkan, Bu Ati sempat menitikkan air mata tatkala K. Ubaid membacakan puisi “Hal Tasma`îna Shawta Asyjâri al-Shanûbar?”, versi Arab dari “Adakah Suara Cemara”. K. Ubaid membacakan puisi itu beberapa kali dan sesekali dibawakan dengan lagu Hijaz, nada yang biasa digunakan para qari’-qari’at dalam tilawah mereka. Puisi cinta dengan sentuhan lagu Hijaz membuat bulu roma terkesiap seakan ribuan malaikat mengusapnya. Tak ayal beberapa penonton wanita mengusap mata mereka karena tak kuat menahan perasaan. Subhanallah! Indah sekali momen itu! Saya tak akan pernah melupakannya.
Sementara itu, saya yang berdiri di belakang Pak Taufiq dan Bu Ati tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya bisa berfikir, alangkah indahnya kisah cinta mereka. Akankah saya memiliki kisah cinta yang indah seperti mereka? Akankah saya (setidaknya) dapat mempersembahkan puisi terbaik untuk orang yang saya cinta? Mengingat saya bukanlah seorang penyair yang ahli merangkai kata. Dunia sastra memang sungguh mempesona!

Selesai membacakan syairnya, K. Ubaid mempersilahkan Pak Taufiq membaca bait terakhir puisi “Adakah Suara Cemara” di hadapan istrinya, “Ialah cinta, cinta kita”. Ruangan riuh dengan tepuk tangan. Saya juga ikut bertepuk tangan penuh semangat.

Sampai di sini, pembacaan puisi selesai. Sebelum turun dari panggung, pak Taufiq berpesan pada saya

“Nanti, jangan lupa baca buku saya ya!” katanya

“Baik, Pak” jawabku sambil tersenyum

Saya pun menyalaminya dan berterimakasih karena sudah diberi kesempatan untuk duduk bersama beliau dan membacakan puisi beliau di hadapannya.

Kini jam menunjukan pukul 14.00. Setelah sesi foto-foto bersama peserta, Pak Taufiq dan rombongan kembali ke ruang rektorat untuk makan siang. Sekali lagi saya ikut bersama mereka walau tidak sempat makan bersama, karena kebetulan waktu itu saya sedang puasa.

Sementara pak Taufiq makan siang, saya membeli buku “Turâb Fawq at-Turâb” dari K. Ubaid seharga Rp. 100.000,-. Saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan; mumpung pak Taufiq masih ada di sini, saya ingin minta tanda tangannya di buku karyanya sendiri, tanda tangan yang dikhususkan untukku. Kebetulan buku tersebut waktu itu hanya tersedia 15 eks, jadi saya termasuk orang yang beruntung sekali karena masih kebagian buku tersebut.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya pak Taufiq selesai makan siang. Saya pun minta tanda tangan beliau di buku yang baru saja saya beli (baca: hutang) dari K. Ubaid. Saya minta dua tanda tangan sekaligus, pertama di halaman “iii”, kedua di halaman 370, yaitu halaman yang berisi puisi yang saya bacakan tadi.

Jam 15.00 rombongan pak Taufiq bertolak dari kampus INSTIKA ke ndalemnya K. Ubaidillah Tsabit. Namun sebelum masuk ke mobil, Bu Ati memberikan sedikit kritikan menggelitikpada kampus INSTIKA

“Ini kok nggak ada nama tempatnya ya?” katanya sambil melihat nama “INSTIKA” yang terpampang besar di bagian depan gedung rektorat. “Seharusnya ada tulisan tempatnya. Nanti kalau saya lihat foto-foto saya lagi, jadi saya bisa tahu, Oo ini saya waktu di Madura”.

“Betul” tambah Bu Linda, “tempat itu penting loh! Orang akan tahu kalo kampus INSTIKA itu di Madura jika ada tulisan tempatnya. Tapi ini tidak ada, jika ada orang lihat foto saya di depan gedung ini, dia pasti bertanya “Ini di mana?”. Iya to?”
Ah, Bu Ati. Kau ini ternyata sangat jeli ya! padahal umurmu tak lagi muda.