Hari
tadi adalah hari yang betul-betul bikin kesal. Bagaimana tidak? Dari kemarin sore
jam 17.30 ke Surabaya, hingga malam keesokan harinya jam 11.00 baru sampai di
Madura, tanpa istirahat dan hanya makan sekadarnya dengan harga yang mencekik...
terutama nih, terutama nih ya… saat di terminal Bungor Asih jam setengah sebelas
malam dalam keadaan perut keroncongan, tanpa ba-bi-bu, kulangkahkan kaki
memasuki sebuah warung makan.
“Nasi Pecel,
Bu, dua” pesanku setelah meminta pertimbangan dari teman seperjalanan
“Es jeruk
sama teh hangat”
Singkat cerita
makan pun telah usai
“Berapa, Bu?”
tanyaku menanyakan harga
“38 ribu
saja, Dik” dhuaaaarrr…..! firasat buruk jadi kenyataan. ‘Saja’ katanya? Nasinya
hampir basi, lauknya udah berbau, 38 ribu? Yang bener aja?!
Chapter II: Hati-Hati dengan Kata ‘Sebentar’
Setelah itu
aku mencari line (angkot) jurusan Waru di mana tempat rumah Pak Salam berada. Setelah
menyeberangi jalan raya ke arah timur, aku baru menemukan angkot yang lagi
parkir
“Mas mas,
ayo! Bentar lagi mo berangkat!” kata si sopir
Aku langsung
saja masuk ke dalam angkot setelah yakin bahwa angkot itu ke Waru. Dan ternyata….
Oh tidak… angkot itu baru berangkat setelah hampir 1 jam kemudian.
Chapter III:
Teman Pengantar Tidur
Jangan
berfikir ngeres dulu. Ceritanya begini, setelah turun dari angkot aku berjalan
ke utara kira-kira ½ km kemudian berbeluk ke kanan, 500 m kemudian belok lagi
ke kanan, lalu ke kenan lagi maka di sanalah aku mendapatkan masjidnya Pak Salam tempat aku akan
istirahat malam itu untuk persiapan perjalanan besok pagi. Masjidnya masih
belum jadi, tapi udah bisa ditempati. Kesan bersih dan tertata langsung terasa
ketika baru nyampe. Di sekelilingnya adalah perumahan minimalis dengan tata
kota yang menawan.
Setelah
ambil wudhu’ dan shala Isya’ aku bersiap-siap untuk tidur. Tas kujadikan
bantal. Akan tetapi tak begitu lama kemudian datanglah tamu tak diundang yang tidak pernah
kuinginkan kehadirannya: Nyamuk…
“Ngiiiiing……!”
sang nyamuk mulai menyanyi merdu dengan tangga nada yang tak pernah berubah: antara ‘la’ dan ‘si’.
Betul-betul menyebalkan! Kucoba memakai jaket yang kubawa dari pondok dan
berselimut sarung biar sang nyamuk tidak lagi menghiburku dengan nyanyian nada tingginya,
apalagi kalo harus ditambah cubitan nakal yang sama sekali tidak asyik.
Namun
ternyata sang nyamuk tetap gigih mencari sela-sela biar nyanyiannya didengar,
hal itu berlangsung hingga pukul setengah empat pagi, yang artinya: malam itu
aku tidak istirahat… mampus deh!
Chapter IV: Berikan
Teman Pengalaman
Habis silaturrahmi
ke rumah Pak Salam, aku dan temanku langsung go ke terminal Bungor Asih. Rencananya
pagi itu aku pergi ke Intiland Tower buat ngambil netbook yang 10 hari lalu
kuservis. Setelah nyampe di terminal aku langsung menuju bus angkutan kota yang
ada AC-nya biar gak kepanasan. Tapi tiba-tiba
“Ini Patas
lo, Ruq” kata temanku dengan wajah khawatir
“Memang iya,
lalu kenapa?” tanyaku
“Kan mahal?”
jawabnya. Aku tersenyum di dalam hati (di dalam hati lo!) mendengar jawabannya
itu.
“Kawan,
selisih harganya Cuma 1000 perak, ada AC, music, kursi empuk, bersih dari asap
rokok dan kepuasan lainnya. Klo bis ekonomi malah sebaliknya” akhirnya dia mau
naik bis ‘Patas’ itu setelah kujelaskan.
Setelah nyampe
di Intiland, aku langsung masuk ke dalam, dia ngekor di belakangku memasuki pintu kaca yang tidak ada gagang pintunya alias terbuka sendiri. Ketika aku
mau masuk ke HP Service Center,
“Aku tunggu
di luar aja” katanya sedikit canggung, mungkin karena terlalu mewah melihat di dalam beberapa cewek manis tersenyum dibalik meja, lampu metallic menghiasi dinding yang terlihat begitu indah dari luar.
“Nggak apa-apa.
Temenin aku di dalam” dia pun akhirnya masuk. Beberapa saat kemudian aku sudah
selesai dengan urusanku di sana, lantas aku keluar. Namun sebelum keluar dari
Intiland Tower, rasanya aku merasa telah melewatkan sesuatu, oh ya... aku kebelet kencing. Aku pun ke kamar kecil. Awalnya temanku
mau nunggu di luar lagi, dan kali ini aku idzinkan. Buat apa juga ke kamal
kecil klo nggak ngapa-ngapain kan? Eh… tapi akhirnya dia ikut juga ke dalam.
“Mau kencing
juga?” tanyaku.
“Iya”
“Bukannya tadi udah kencing di masjid?” ledekku. Dia nggak jawab
“Tuh di sana”
lanjutku sambil menunjuk ke arah urinal. ia pun pergi ke urinal yang kutunjukkan. Tapi kelihatannya dia gugup.
“Tahu cara
kerjanya?” tanyaku
“iya…”
jawabnya hambar
“Iya,
tinggal ditoccerkan, setelah selesai tekan yang ini” aku menimpali untuk
menghilangkan kegugupannya
Habis itu ia
pindah ke tempat cuci muka, kali ini dia lebih santai setelah melihat aku
menggunakan pengering tangan di sisi kiri pet.
“Ini apa?”
tanyanya sambil menunjuk ke sebuah kotak di sisi kiri cermin
“Oh… itu
sabun” lalu kupencetkan kotak hingga keluar setetes sabun cair.
Untung saja saat itu kebetulan nggak ada orang lain yang pipis, kalau tidak.... ah terlalu mengerikan untuk kubayangkan.. :D
Kemudian
kami keluar dan menuju Hi-Tech Mall, mo membeli netbook milik temanku itu. Tapi
ternyata kami datang telalu pagi, soalnya Hi-Tech belum buka. Kita baru masuk
ke dalam sekitar jam 10.00. Kita muter-muter dulu sambil menunggu semua stand
buka. Sekitar ¼ jam kemudian, kita menemukan merk netbook yang dia inginkan, ‘TOSHIBA
NB520’ seharga Rp. 2.989.000 tanpa OS dan lebih dari Rp. 3.200.000-an untuk
yang ber OS. tapi dia tidak langsung mengambilnya. Ia masih mencari yang lain,
padahal merk itu sudah sesuai dengan hasil browsingnya kemarin, aku juga sudah
merekomendasikannya sesuai dengan yang ia mau. Setelah muter-muter cukup lama
(sekitar 2 jam), akhirnya netbook itu juga yang diambil. Waduh, jadi sejak tadi
muter-muter nggak ada gunanya dong?! Padahal masih banyak yang harus dibeli… kesal
sih ada tapi walau bagaimanapun aku tetap menyukainya, karena di mau memberikan
aku pinjaman. Hehe…
Chapter V:
Jawa Pos Cycling: Betul-Betul Bikin Kesal!!!
Selesai di
Hi-Tech, tinggal ke Blauran dan Sunan Ampel. Nah perjalan ke Blauran ini yang
cukup melelahkan, padahal Blauran nggak jauh-jauh amat dari Hi-Tech Mall, tapi
angkot harus muter-muter dulu karena beberapa ruas jalan di tutup, dan beberapa
yang lain macet total. Pasalnya? Tidak lain dan tidak bukan adalah JPC (Jawa Pos Cycling); sangat
menyenangkan buat pecinta cycle, sangat menjengkelkan buat pengguna jalan,
termasuk aku.
Panas, gerah, hingar-bingar kendaraan, suara klakson bersahutan,
bau asap mesin, hingga sumpah serapah semuanya jadi satu dan hampir membuatku
stress. Di ruas jalan yang lain kulihaat beberapa sepeda balap berlari kencang
ke arah selatan, kurang ajar! Senak ndewe!
Chapter VI:
Pokoknya Harus Ke Ampel
Karena hari
sudah cukup sore, dan line yang langsung dari Blauran ke Ampel gak ada, temanku
malah ngajak pulang… tentu saja aku terkejut
“Udah,
ditinggal aja, beli di Ganding juga ada” katanya setelah aku beritahu klo ada
teman yang memesan kitab
“Masalahnya
dia maunya yang terbitan Beirut” jawabku
“Klo nggak
dibelikan emang kenapa? Waktunya gak sempat nih, udah malem” katanya lagi
“Memang keperluanmu
sudah semua, jadi gak masalah, tapi aku tidak. Dia udah pesan dua kali sama
aku, yang pertama dulu nggak ada, dan nggak sempat keliling ke toko lain karena
waktunya udah malam. Masa’ yang kedua kalinya dia haru kukecewakan lagi? Aku nggak
enak kawan!”
“Klo gak di
Ampel kenapa sih?!” keadaan udah aga panas
“Adanya cuma
di Ampel” jawabku kehilangan kesabaran
Akhirnya dia
mau juga ikut aku ke Ampel dengan syarat aku yang bayar becaknya. Raiblah uang
14 ribu.
Sayangnya setelah
aku telusuri pertokoan kitab jalan Sasak dan jalan Panggung, aku tidak berhasil
menekukan kitab yang dipesan temanku itu. Aku baru menemukannya di toko paling
selatan jalan Panggung, itupun hanya satu. Dalam hati aku berfikir ‘Ada
benarnya juga temanku itu’, aku habis uang banyak tapi tidak dapat apa yang aku
cari. Yah… diterima aja lah… nggak nerima juga gak akan kembali tuh uang…
Chapter VII: Ending
Ya udah... cerita ini ku tutup... selesai