Langsung ke konten utama

Survive in Surabaya


Chapter I: Makan Sedikit Harga Selangit

Hari tadi adalah hari yang betul-betul bikin kesal. Bagaimana tidak? Dari kemarin sore jam 17.30 ke Surabaya, hingga malam keesokan harinya jam 11.00 baru sampai di Madura, tanpa istirahat dan hanya makan sekadarnya dengan harga yang mencekik... terutama nih, terutama nih ya… saat di terminal Bungor Asih jam setengah sebelas malam dalam keadaan perut keroncongan, tanpa ba-bi-bu, kulangkahkan kaki memasuki sebuah warung makan.

“Nasi Pecel, Bu, dua” pesanku setelah meminta pertimbangan dari teman seperjalanan
“Minumnya?” tanya si penjaga warung dingin. Deg… ada sesuatu menggangguku, firasat buruk.
“Es jeruk sama teh hangat”

Singkat cerita makan pun telah usai

“Berapa, Bu?” tanyaku menanyakan harga
“38 ribu saja, Dik” dhuaaaarrr…..! firasat buruk jadi kenyataan. ‘Saja’ katanya? Nasinya hampir basi, lauknya udah berbau, 38 ribu? Yang bener aja?!

Chapter II: Hati-Hati dengan Kata ‘Sebentar’

Setelah itu aku mencari line (angkot) jurusan Waru di mana tempat rumah Pak Salam berada. Setelah menyeberangi jalan raya ke arah timur, aku baru menemukan angkot yang lagi parkir

“Mas mas, ayo! Bentar lagi mo berangkat!” kata si sopir

Aku langsung saja masuk ke dalam angkot setelah yakin bahwa angkot itu ke Waru. Dan ternyata…. Oh tidak… angkot itu baru berangkat setelah hampir 1 jam kemudian.

Chapter III: Teman Pengantar Tidur

Jangan berfikir ngeres dulu. Ceritanya begini, setelah turun dari angkot aku berjalan ke utara kira-kira ½ km kemudian berbeluk ke kanan, 500 m kemudian belok lagi ke kanan, lalu ke kenan lagi maka di sanalah aku mendapatkan masjidnya Pak Salam tempat aku akan istirahat malam itu untuk persiapan perjalanan besok pagi. Masjidnya masih belum jadi, tapi udah bisa ditempati. Kesan bersih dan tertata langsung terasa ketika baru nyampe. Di sekelilingnya adalah perumahan minimalis dengan tata kota yang menawan.

Setelah ambil wudhu’ dan shala Isya’ aku bersiap-siap untuk tidur. Tas kujadikan bantal. Akan tetapi tak begitu lama kemudian datanglah tamu tak diundang yang tidak pernah kuinginkan kehadirannya: Nyamuk…

“Ngiiiiing……!” sang nyamuk mulai menyanyi merdu dengan tangga nada yang tak pernah berubah: antara ‘la’ dan ‘si’. Betul-betul menyebalkan! Kucoba memakai jaket yang kubawa dari pondok dan berselimut sarung biar sang nyamuk tidak lagi menghiburku dengan nyanyian nada tingginya, apalagi kalo harus ditambah cubitan nakal yang sama sekali tidak asyik.

Namun ternyata sang nyamuk tetap gigih mencari sela-sela biar nyanyiannya didengar, hal itu berlangsung hingga pukul setengah empat pagi, yang artinya: malam itu aku tidak istirahat… mampus deh!

Chapter IV: Berikan Teman Pengalaman

Habis silaturrahmi ke rumah Pak Salam, aku dan temanku langsung go ke terminal Bungor Asih. Rencananya pagi itu aku pergi ke Intiland Tower buat ngambil netbook yang 10 hari lalu kuservis. Setelah nyampe di terminal aku langsung menuju bus angkutan kota yang ada AC-nya biar gak kepanasan. Tapi tiba-tiba

“Ini Patas lo, Ruq” kata temanku dengan wajah khawatir
“Memang iya, lalu kenapa?” tanyaku
“Kan mahal?” jawabnya. Aku tersenyum di dalam hati (di dalam hati lo!) mendengar jawabannya itu.
“Kawan, selisih harganya Cuma 1000 perak, ada AC, music, kursi empuk, bersih dari asap rokok dan kepuasan lainnya. Klo bis ekonomi malah sebaliknya” akhirnya dia mau naik bis ‘Patas’ itu setelah kujelaskan.

Setelah nyampe di Intiland, aku langsung masuk ke dalam, dia ngekor di belakangku memasuki pintu kaca yang tidak ada gagang pintunya alias terbuka sendiri. Ketika aku mau masuk ke HP Service Center,

“Aku tunggu di luar aja” katanya sedikit canggung, mungkin karena terlalu mewah melihat di dalam beberapa cewek manis tersenyum dibalik meja, lampu metallic menghiasi dinding yang terlihat begitu indah dari luar.
“Nggak apa-apa. Temenin aku di dalam” dia pun akhirnya masuk. Beberapa saat kemudian aku sudah selesai dengan urusanku di sana, lantas aku keluar. Namun sebelum keluar dari Intiland Tower, rasanya aku merasa telah melewatkan sesuatu, oh ya... aku kebelet kencing. Aku pun ke kamar kecil. Awalnya temanku mau nunggu di luar lagi, dan kali ini aku idzinkan. Buat apa juga ke kamal kecil klo nggak ngapa-ngapain kan? Eh… tapi akhirnya dia ikut juga ke dalam.

“Mau kencing juga?” tanyaku.
“Iya”
 “Bukannya tadi udah kencing di masjid?” ledekku. Dia nggak jawab
“Tuh di sana” lanjutku sambil menunjuk ke arah urinal. ia pun pergi ke urinal yang kutunjukkan. Tapi kelihatannya dia gugup.
“Tahu cara kerjanya?” tanyaku
“iya…” jawabnya hambar
“Iya, tinggal ditoccerkan, setelah selesai tekan yang ini” aku menimpali untuk menghilangkan kegugupannya

Habis itu ia pindah ke tempat cuci muka, kali ini dia lebih santai setelah melihat aku menggunakan pengering tangan di sisi kiri pet.

“Ini apa?” tanyanya sambil menunjuk ke sebuah kotak di sisi kiri cermin
“Oh… itu sabun” lalu kupencetkan kotak hingga keluar setetes sabun cair.

Untung saja saat itu kebetulan nggak ada orang lain yang pipis, kalau tidak.... ah terlalu mengerikan untuk kubayangkan.. :D

Kemudian kami keluar dan menuju Hi-Tech Mall, mo membeli netbook milik temanku itu. Tapi ternyata kami datang telalu pagi, soalnya Hi-Tech belum buka. Kita baru masuk ke dalam sekitar jam 10.00. Kita muter-muter dulu sambil menunggu semua stand buka. Sekitar ¼ jam kemudian, kita menemukan merk netbook yang dia inginkan, ‘TOSHIBA NB520’ seharga Rp. 2.989.000 tanpa OS dan lebih dari Rp. 3.200.000-an untuk yang ber OS. tapi dia tidak langsung mengambilnya. Ia masih mencari yang lain, padahal merk itu sudah sesuai dengan hasil browsingnya kemarin, aku juga sudah merekomendasikannya sesuai dengan yang ia mau. Setelah muter-muter cukup lama (sekitar 2 jam), akhirnya netbook itu juga yang diambil. Waduh, jadi sejak tadi muter-muter nggak ada gunanya dong?! Padahal masih banyak yang harus dibeli… kesal sih ada tapi walau bagaimanapun aku tetap menyukainya, karena di mau memberikan aku pinjaman. Hehe…

Chapter V: Jawa Pos Cycling: Betul-Betul Bikin Kesal!!!

Selesai di Hi-Tech, tinggal ke Blauran dan Sunan Ampel. Nah perjalan ke Blauran ini yang cukup melelahkan, padahal Blauran nggak jauh-jauh amat dari Hi-Tech Mall, tapi angkot harus muter-muter dulu karena beberapa ruas jalan di tutup, dan beberapa yang lain macet total. Pasalnya? Tidak lain dan tidak bukan adalah JPC (Jawa Pos Cycling); sangat menyenangkan buat pecinta cycle, sangat menjengkelkan buat pengguna jalan, termasuk aku. 

Panas, gerah, hingar-bingar kendaraan, suara klakson bersahutan, bau asap mesin, hingga sumpah serapah semuanya jadi satu dan hampir membuatku stress. Di ruas jalan yang lain kulihaat beberapa sepeda balap berlari kencang ke arah selatan, kurang ajar! Senak ndewe!

Chapter VI: Pokoknya Harus Ke Ampel

Karena hari sudah cukup sore, dan line yang langsung dari Blauran ke Ampel gak ada, temanku malah ngajak pulang… tentu saja aku terkejut

“Udah, ditinggal aja, beli di Ganding juga ada” katanya setelah aku beritahu klo ada teman yang memesan kitab
“Masalahnya dia maunya yang terbitan Beirut” jawabku
“Klo nggak dibelikan emang kenapa? Waktunya gak sempat nih, udah malem” katanya lagi
“Memang keperluanmu sudah semua, jadi gak masalah, tapi aku tidak. Dia udah pesan dua kali sama aku, yang pertama dulu nggak ada, dan nggak sempat keliling ke toko lain karena waktunya udah malam. Masa’ yang kedua kalinya dia haru kukecewakan lagi? Aku nggak enak kawan!”
“Klo gak di Ampel kenapa sih?!” keadaan udah aga panas
“Adanya cuma di Ampel” jawabku kehilangan kesabaran

Akhirnya dia mau juga ikut aku ke Ampel dengan syarat aku yang bayar becaknya. Raiblah uang 14 ribu.

Sayangnya setelah aku telusuri pertokoan kitab jalan Sasak dan jalan Panggung, aku tidak berhasil menekukan kitab yang dipesan temanku itu. Aku baru menemukannya di toko paling selatan jalan Panggung, itupun hanya satu. Dalam hati aku berfikir ‘Ada benarnya juga temanku itu’, aku habis uang banyak tapi tidak dapat apa yang aku cari. Yah… diterima aja lah… nggak nerima juga gak akan kembali tuh uang…

Chapter VII: Ending

Ya udah... cerita ini ku tutup... selesai