Langsung ke konten utama

Postingan

Dana Haji untuk Infrastruktur, Kenapa Tidak?

gambar: kabarmakkah.com Banyak meme bertebaran di medsos yang isinya rata-rata berupa ungkapan nyinyir terhadap keinginan Jokowi untuk menggunakan dana haji ke sektor pembangunan infrastruktur. Yap, saya akui itu adalah kebijakan yang sangat berani, bahkan bisa dibilang nekat. Dana haji itu bukan milik pemerintah, bukan APBN, bukan hasil pajak. Dana itu adalah dana umat yang dititipkan ke BPKH di bawah Kementerian Agama RI. Dana haji adalah dana plat hitam, bukan plat kuning apalagi merah. Pemerintah tidak berhak menggunakan dana plat hitam kecuali dengan akad utang. Jika pemerintah sudah berani berutang, itu menunjukkan pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan. Sekarang mari kesampingkan dulu perkara Pak Joko yang seakan tak tahu malu itu. Abaikan sikap Pak Joko yang seakan pro "penista" dan "pemodal", tapi giliran urusan duit umat malah pengen diembat. Saya bukan simpatisan Pak Joko, tapi ya faktanya dia adalah presiden yang sah toh. Bagi saya pemeri
Postingan terbaru

Sensasi 14° Celsius Di Gunung Lawu

Perjalanan menggunakan sepeda motor dari Sumenep ke Bekasi sebenarnya bisa ditempuh dalam 24 jam, dengan catatan tidak boleh istirahat kecuali untuk isi bahan bakar saja, dan harus melelwati jalur tercepat pula, yaitu jalur Pantura. Namun dalam perjalanan kali ini saya dan teman saya mengambil jalur yang berbeda karena masih harus menemui mas Tamanu di Prigen, Pasuruan. Tidak mungkin dari Prigen kami balik lagi ke Surabaya untuk kembali ke jalur Pantura. Itu adalah jalan memutar yang sangat jauh. Oleh sebab itu, dari Prigen kami langsung ke arah barat melewati Mojosari, Mojokerto, Madiun dan seterusnya. Rencana awalnya kami ingin melewati Boyolali, lereng gunung Merbabu, terus ke Magelang, Wonosobo antara gunung Sumbing dan Sindoro, lanjut ke Purwokerto, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Purwakarta, dan berakhir di Bekasi. Tetapi rencana itu kami batalkan karena ketika sampai di Madiun kami mendengar kabar yang mengharuskan kami tiba di Bekasi secepatnya. Dari Madiun saya ambil alih

Malaikat Itu Bernama Tamanu

Mas Tamanu dan saya di rumahnya Saya tahu dan saya yakin di muka bumi ini masih banyak manusia berhati luhur dan berakhlak mulia. Manusia yang lebih mengikuti suara hati daripada hawa nafsu, manusia yang mendahulukan orang lain daripada kesenangan diri sediri. Saya betul-betul merasakan hal ini dan membuktikannya ketika diperkenalkan oleh Allah dengan mas Tamanu beberapa hari yang lalu. Mas Tamanu adalah pemuda sederhana yang bulan April lalu berhasil mempersunting kekasihnya, gadis berdarah Pati, Jawa Tengah dan menjadikan dia pendamping hidupnya. Dia sendiri tinggal di Tretes, sebuah desa di lereng gunung Arjuno yang masih termasuk daerah Pasuruan, Jawa Timur. Dia tinggal berdua dengan ibunya di sebuah rumah sederhana dan sekarang sudah bertiga sejak istrinya pindah dari Pati ke Pasuruan. Mas Tamanu bukanlah seorang sarjana. Pendidikan terakhir yang dia tempuh adalah SMK. Dia mengambil jurusan perhotelan, jurusan yang mengantarkannya bekerja di sebuah hotel di daerah Prigen

Mengurus KTP, SIM, NPWP, ATM, dan STNK yang Hilang

Tak seorang pun yang secara sadar dan ridho mengharapkan kejadian buruk terjadi. Tetapi, yang namanya musibah datangnya tak diundang perginya harus diusir. Jailangkung aja anggak gitu-gitu amet! Nah, berawal dari pengalaman pribadi waktu saya kehilangan kartu-kartu dan surat-surat yang nilai ekstrinsiknya seharga nyawa, padahal nilai intrinsiknya cuma saeutik hungkul , maka dalam tulisan ini saya akan berbagi trik mengurus kartu dan surat tersebut jika hilang. Yaaah, supaya apa yang terjadi pada saya tidak terjadi pada saudara. Mau? Oke lanjut. Pertama , sebagai langkah preventif , saya sarankan saudara biasakan menaruh surat-surat penting di tempat yang betul-betul aman. Aman dari pencurian dan aman dari kelupaan. Misalnya, tempatkan KTP, SIM dan sejenisnya di dompet yang paling saudara sayangi (contoh: dompet hadiah dari pacar). Dengan begitu KTP, SIM dan sejenisnya akan selalu dalam perhatian saudara. Lah wong ditaruh di dompet kesayangan, bagaimana tidak? Tapi ingat, sek

Ke Pedalaman Pulau Bawean

Pulau Bawean, terletak sekitar 120 km di utara pulau Madura dan Jawa, merupakah salah satu pulau kecil di tengah laut Jawa. Pulau Bawean masih termasuk dalam teritorial perairan kabupaten Gresik. Meski begitu, bahasa dan budayanya bisa dibilang Madura banget. Untuk komunikasi sehari-hari masyarakat Bawean menggunakan bahasa Madura. Bahasa Madura yang digunakan adalah bahasa Madura "Kaulâ-dhika", tingkatan menengah dalam hierarki kesopanan bahasa Madura. Di sini cara berbicara dengan orang yang strata sosialnya lebih tinggi atau lebih lebih rendah adalah sama. Meski dialeknya mirip bahasa Maduranya orang Sumenep, namun tidak saya temukan penduduk Bawean yang menggunakan bahasa halus ala kraton. Pegunungan terlihat dari pelabuhan Pulau Bawean Awalnya saya tidak pernah menyangka akan tiba di pulau ini. Berawal dari undangan sepupu untuk menghadiri acara resepsi pernikahan dia di rumah istrinya, takdir pun menuntun saya untuk menginjakkan kaki di sebuah pulau kecil di ant

Madura, I'm Coming

Jam menunjukkan pukul 05:15 am. Perjalanan ke kampung halaman masih tinggal 350-an kilometer. Rembang - Sumenep bukanlah jarak yang bisa dianggap enteng, lebih jauh dari Malang - Sumenep yang saya jalani bersama Muktirrahman bulan puasa tahun lalu. Saya masih ingat betul bagaimana rasanya menempuh jarak 250 km menggunakan motor bebek Suzuki Smash 110 cc dari Malang ke Kapedi, Sumenep. Berangkat jam 11:00 siang hari dan sampai jam 09:30 malam hari dengan 3 kali istirahat untuk buka puasa dan berteduh dari hujan, meskipun tujuan kedua tak berakhir menyenangkan, karena ujung-ujungnya kami basah-basahan juga. Nah, kali ini saya harus menempuh jarak 350 km lagi untuk sampai di Sumenep. Namun, karena kondisi cuaca bagus, dalam perhitungan saya paling tidak jam 03:00 pm sore nanti kami akan tiba di tujuan, dengan asumsi istirahat sekedarnya saja. Selain itu karena bawaan kami kali ini tidak banyak, perjalanan in syaa Allah tidak akan terlalu melelahkan. Bismillah, dengan sisa semangat

Yang Kamu Lakukan Itu Jahat (?)

Jam 20.45 pm, setelah pamitan kepada remaja Masjid Jami Purwosari dan ustadz mereka yang baru saja datang, kami melanjutkan perjalanan. Saya yang pegang kemudi kali ini. Motor melaju dengan kecepatan sedang, antara 60-70 km/h. Sempat beberapa kali kecepatan tanpa terasa sudah di angka 80 km/h, tapi saya turunkan lagi ke angka 70 km/h. Meskipun penerangan jalam pantura cukup baik, berhati-hati tetaplah lebih baik. Lebih-lebih berkendara di malam hari dengan kondisi penglihatan saya yang tidak sebaik manusia normal lainnya, risiko jadi semakin tinggi. Bagi saya berkendara di malam hari itu cukup menyiksa, di samping karena faktor mata minus, saya juga harus lebih banyak memicingkan mata untuk mengurangi silau lampu kendaraan dari arah berlawanan. Jadi, secara subjektif saya menilai keputusan ganti pengemudi di saat seperti ini sungguh tidak manusiawi. "Suryadi, kenapa kau biarkan aku yang mengemudi di malam hari? Kenapa bukan saat siang saja tadi? Suryadi, apa yang kamu lakuk